Minggu, 30 Mei 2010

Tips Bersabar (1): Macam-macam Kesabaran

Allah ta’ala telah memberikan kebaikan di setiap
kondisi yang dialami oleh para hamba-Nya yang
beriman, sehingga mereka senantiasa berada
dalam rengkuhan nikmat Allah ta ’ala.
Mereka mengalami segala kejadian yang
menyenangkan dan menyedihkan, namun segala
takdir yang ditetapkan Allah bagi mereka
merupakan barang perniagaan yang memberikan
untung yang teramat besar.
Hal ini ditunjukkan dalam sebuah sabda yang
diucapkan oleh pemimpin dan suri tauladan bagi
orang-orang yang bertakwa, yaitu nabi shallallahu
‘ alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ
أَمْرَهُ كُلَّهُ عجب. مَا يَقْضِي اللهُ
لَهُ مِنْ قَضَاءٍ إِلاَ كَانَ خَيْرًا
لَهُ, إِِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ
فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ
ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang
mukmin. Segala perkara yang dialaminya
sangat menakjubkan. Setiap takdir yang
ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan
kebaikan. Apabila kebaikan dialaminya,
maka ia bersyukur, dan hal itu merupakan
kebaikan baginya. Dan apabila keburukan
menimpanya, dia bersabar dan hal itu
merupakan kebaikan baginya. ”[1]
Hadits ini mencakup seluruh takdir-Nya yang
ditetapkan bagi para hamba-Nya yang beriman.
Dan segala takdir itu akan bernilai kebaikan,
apabila sang hamba bersabar terhadap takdir
Allah yang tidak menyenangkan dan bersyukur
atas takdir Allah yang disukainya.
Bahkan, hal ini turut tercakup ke dalam kategori
keimanan sebagaimana firman Allah ta ’ala,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا
أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ
إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ
اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ
صَبَّارٍ شَكُورٍ )٥(
“Sesunguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
setiap orang penyabar dan banyak
bersyukur. ” (QS. Ibrahim: 5).
Apabila seorang hamba memperhatikan seluruh
ajaran agama ini, maka dia akan mengetahui
bahwa segenap ajaran agama berpulang pada
kedua hal tadi, yaitu kesabaran dan rasa syukur.
Hal itu dikarenakan kesabaran terbagi menjadi tiga
jenis sebagaimana berikut [2].
Pertama: Sabar dalam melakukan ketaatan
sampai seorang melaksanakannya. Hal ini
dikarenakan seorang hamba hampir dapat
dipastikan tidak dapat melakukan segala perkara
yang diperintahkan kepadanya kecuali setelah
bersabar, berusaha keras untuk bersabar dan
berjihad melawan segenap musuh, baik yang
tampak maupun yang tidak tampak. Kesabaran
jenis inilah yang mempengaruhi penunaian
seorang hamba terhadap segala perkara yang
diwajibkan dan dianjurkan kepada dirinya.
Kedua: Kesabaran terhadap segala perkara yang
terlarang sehingga dirinya tidak mengerjakan
berbagai larangan tersebut. Sesungguhnya nafsu,
tipu daya setan, dan teman sejawat yang buruk
akan senantiasa memerintahkan dan menyeret
seseorang untuk berbuat kemaksiatan. Oleh
karenanya, kekuatan kesabaran jenis ini
mempengaruhi tindakan seorang hamba dalam
meninggalkan segenap kemaksiatan. Sebagian
ulama salaf [3] mengatakan,
أَعْمَالُ الْبِرِّ يَفْعَلُهَا الْبَرُّ
وَ الْفَاجِرُ, وَ لاَ يَقْدِرُ عَلَى
تَرْكِ الْمَعَاصِي إِلاَّ صِدِّيْقٌ
“Setiap orang yang baik maupun yang fajir
(pelaku kemaksiatan) turut melakukan
kebaikan. Namun hanya orang yang bertitel
shiddiq yang mampu meninggalkan seluruh
perkara maksiat. ”
Ketiga: Kesabaran terhadap musibah yang
menimpanya. Musibah ini terbagi menjadi dua,
Jenis pertama: Jenis musibah yang tidak
dipengaruhi oleh turut campur tangan makhluk
seperti penyakit dan musibah lain yang praktis
tidak turut dipengaruhi oleh campur tangan
manusia. Seorang hamba mudah bersabar dalam
menghadapi musibah jenis ini.
Hal itu dikarenakan seorang hamba mengakui
bahwasanya musibah jenis ini termasuk ke dalam
takdir Allah yang tidak dapat ditentang olehnya,
(sehingga) manusia tidak mampu turut campur
dalam permasalahan ini. (Dalam hal ini), sang
hamba hanya mampu bersabar, baik itu terpaksa
maupun sukarela.
Apabila Allah membukakan pintu untuk
merenungi berbagai faedah, kenikmatan dan
kelembutan Allah yang diperolehnya dari
musibah tersebut, maka dirinya pun berpindah
dari derajat bersabar atas musibah yang
menimpanya menuju derajat bersyukur dan ridla
atas musibah tersebut. Dengan seketika, musibah
tadi berubah menjadi nikmat yang dirasakannya,
sehingga lisan dan hatinya senantiasa berkata,
رَبِّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ
وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai Rabb-ku, tolonglah aku untuk
senantiasa mengingat-Mu, bersyukur
kepada-Mu serta memperbaiki segala
peribadatanku kepada-Mu. ”[4]
Kesabaran jenis ini bergantung kepada kekuatan
cinta seorang hamba kepada Allah ta ’ala,
(sehingga meskipun hamba tertimpa musibah,
dia justru dapat bersabar karena kekuatan cinta-
Nya kepada Allah ta ’ala). Hal ini (kesabaran
seorang terhadap perbuatan yang tidak
menyenangkan dari seorang yang dicintainya-
pent) dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-
hari, sebagaimana perkataan sebagian penyair [5]
yang memanggil sang kekasih yang telah
menyakitinya. Dia mengatakan,
لَئِنْ سَاءَنِي أَنْ نِلْتَنِي
بِمَسَاءَةٍ
لَقَدْ سَرَّنِي أَنِّي خَطَرْتُ
بِبَالِكَ
Meskipun (sang kekasih) telah menyakitiku
Namun kenangan di Balika (bersama
kekasih) yang terlintas di benak, sungguh
telah menyenangkan hatiku
Jenis keempat [kedua],[6] adalah musibah
berupa tindakan manusia yang menganggu
harta, kehormatan dan jiwa seorang.
Bersabar terhadap musibah jenis ini sangat sulit
dilakukan, karena jiwa manusia akan senantiasa
mengingat pihak yang telah menyakitinya.
Begitupula jiwa (cenderung) enggan dikalahkan
sehingga dia senantiasa berupaya untuk
menuntut balas. Oleh karenanya, hanya para nabi
dan orang-orang yang bertitel shiddiq saja yang
mampu bersabar terhadap musibah jenis ini.
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila
disakiti, beliau hanya mengucapkan,
يَرْحَمُ اللَّهُ مُوسَى لَقَدْ أُوذِيَ
بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ
“Semoga Allah merahmati Musa. Sungguh
beliau telah disakiti (oleh kaumnya) dengan
(musibah) yang lebih daripada (ujian yang
saya alami ini), namun beliau dapat
bersabar. ”[7]
Salah sorang nabi pun (bersabar dan hanya)
berkata ketika dipukul oleh kaumnya,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي
فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Ya Allah ampunilah kaumku, karena
sungguh mereka tidak mengetahui.”[8]
Telah diriwayatkan dari nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwasanya beliau pernah mengalami
ujian yang dialami oleh nabi tadi dan beliau
mengucapkan perkataan yang serupa. [9]
(Dengan demikian), ucapan do’a tersebut
mengumpulkan tiga perkara, yaitu pemaafan
(dari pihak yang disakiti) terhadap tindakan
mereka, permintaan ampun kepada Allah untuk
mereka dan pengajuan dispensasi (kepada
Allah) dikarenakan ketidaktahuan mereka.
(Apabila seorang melakukannya), maka kesabaran
jenis ini akan menghasilkan pertolongan,
petunjuk, kebahagiaan, keamanan dan kekuatan
serta mempertebal rasa cinta Allah dan manusia
terhadap dirinya juga menambah keilmuan orang
tersebut.
Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً
يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا
وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
‘Dan Kami jadikan di antara mereka itu
pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika
mereka sabar. dan adalah mereka meyakini
ayat-ayat kami. ” (QS. As Sajdah: 24).
Sehingga, kepemimpinan dalam agama dapat
diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan
(keimanan) [10]. Apabila kekuatan keyakinan dan
keimanan mengiringi kesabaran ini, maka
seorang hamba akan menaiki berbagai tingkatan
kebahagiaan dengan karunia Alah ta ’ala. Dan itulah
karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai
karunia yang besar. Oleh karenanya Allah
berfirman,
ô ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ
عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ )34(
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ
صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو
حَظٍّ عَظِيمٍ )35(
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang
sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-
orang yang sabar dan tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang
mempunyai keuntungan yang besar. ” (QS.
Fushshilaat: 34-35).
-bersambung insya Allah-
Diterjemahkan dari risalah Ahmad bin Abdul
Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -
semoga Allah merahmati beliau-
Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Profil

Citayam (Ds: Rawa Panjang), Jawa Barat, Indonesia