Senin, 31 Mei 2010

Kita Termasuk Yang Mana?

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
Di antara tanda kebahagiaan dan keberuntungan,
tatkala ilmu seorang hamba bertambah,
bertambah pulalah sikap tawadhu’ (rendah hati)
dan kasih sayang yang dimilikinya; setiap kali
bertambah amalnya, bertambah pula rasa takut
dan waspada di dalam dirinya [1]; tatkala
bertambah umurnya, berkuranglah
ketamakannya terhadap dunia; tiap kali hartanya
bertambah, kedermawanannya pun bertambah;
setiap kali kedudukan dan martabatnya
bertambah tinggi, maka bertambah pula
kedekatannya dengan manusia, dirinya akan
semakin memperhatikan kebutuhan mereka, dan
merendahkan diri di hadapan mereka.
Di antara tanda kebinasaan seorang, tatkala
ilmunya bertambah, bertambah pula
kesombongan dan keangkuhannya; tiap kali
amalnya bertambah, bertambahlah ‘ujub (bangga
diri) dalam dirinya, semakin meremehkan orang
lain, dan justru memandang baik dirinya; tatkala
umurnya bertambah, ketamakannya terhadap
dunia justru semakin bertambah; tiap kali
hartanya bertambah, bertambah pula sifat kikir
yang dimiliki; setiap kali kedudukan dan
martabatnya bertambah, bertambah pula
keangkuhan dan kecongkakannya.
Seluruh hal di atas merupakan cobaan dari Allah
yang diperuntukkan kepada para hamba-Nya. Di
antara mereka ada yang beruntung, sebagian
yang lain justru celaka.
Demikian pula dengan kemuliaan, seperti
kerajaan, kekuasaan, dan harta, semua adalah
cobaan. Allah ta ’ala berfirman,
فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ
قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي
لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ
)٤٠(
“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu
terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini
termasuk kurnia Rabb-ku untuk mencoba aku,
apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan
nikmat-Nya). ” (QS. An Naml: 40).
Demikian pula kenikmatan, semua adalah cobaan
dari-Nya sehingga akan nampak siapa yang
bersyukur dan siapa yang kufur (ingkar).
Sebagaimana musibah juga cobaan dari-Nya,
karena Dia menguji para hamba dengan berbagai
nikmat dan musibah.
Allah ta’ala berfirman,
فَأَمَّا الإنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاهُ
رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ
فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ )١٥(وَأَمَّا
إِذَا مَا ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ
رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ )١٦(
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya
lalu dirinya dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, Maka dia akan berkata: “Tuhanku
telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya
mengujinya lalu mempersempit rizkinya, maka
dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al
Fajr: 15-16).
Maksud dari ayat di atas, tidak setiap orang yang
Aku lapangkan rizkinya dan Aku beri kesenangan
duniawi, maka hal itu merupakan bentuk
pemuliaan-Ku terhadapnya. Dan tidak setiap
orang yang Aku persempit rizkinya dan Aku uji
dengan kemiskinan, maka hal itu merupakan
kehinaan baginya.
Waffaqaniyalahu wa iyyakum.
Diterjemahkan dari Fawaaidul Fawaaid hal.
403-404 muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/kita-termasuk-yang-mana….html

Obat Penenang Jiwa

Segala puji untuk Allah, Yang telah menurunkan
al-Qur ’an sebagai petunjuk dan obat bagi hamba-
hamba yang beriman. Salawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Imam orang-orang
yang bertakwa, yang telah menguraikan ayat-
ayat-Nya kepada segenap umatnya. Amma
ba ’du.
Saudaraku, sudah menjadi tabiat manusia bahwa
mereka menyukai sesuatu yang bisa
menyenangkan hati dan menentramkan jiwa
mereka. Oleh sebab itu, banyak orang rela
mengorbankan waktunya, memeras otaknya,
dan menguras tenaganya, atau bahkan kalau
perlu mengeluarkan biaya yang tidak kecil
jumlahnya demi meraih apa yang disebut sebagai
kepuasan dan ketenangan jiwa. Namun, ada
sebuah fenomena memprihatinkan yang sulit
sekali dilepaskan dari upaya ini. Seringkali kita
jumpai manusia memakai cara-cara yang dibenci
oleh Allah demi mencapai keinginan mereka.
Ada di antara mereka yang terjebak dalam jerat
harta. Ada yang terjebak dalam jerat wanita. Ada
yang terjebak dalam hiburan yang tidak halal. Ada
pula yang terjebak dalam aksi-aksi brutal atau
tindak kriminal. Apabila permasalahan ini kita
cermati, ada satu faktor yang bisa ditengarai
sebagai sumber utama munculnya itu semua. Hal
itu tidak lain adalah karena manusia tidak lagi
menemukan ketenangan dan kepuasan jiwa
dengan berdzikir dan mengingat Rabb mereka.
Padahal, Allah ta’ala telah mengingatkan hal ini
dalam ayat (yang artinya), “Orang-orang yang
beriman dan hati mereka bisa merasa tentram
dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya
dengan mengingat Allah maka hati akan merasa
tentram. ” (QS. ar-Ra’d: 28). Ibnul Qayyim
rahimahullah menyebutkan bahwa pendapat
terpilih mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini
adalah mengingat al-Qur’an. Hal itu disebabkan
hati manusia tidak akan bisa merasakan
ketentraman kecuali dengan iman dan keyakinan
yang tertanam di dalam hatinya. Sementara iman
dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan
menyerap bimbingan al-Qur ’an (lihat Tafsir al-
Qayyim, hal. 324)
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Dzikir merupakan
sebuah kelezatan bagi hati orang-orang yang
mengerti. ” Demikian juga Malik bin Dinar
mengatakan, “Tidaklah orang-orang yang
merasakan kelezatan bisa merasakan
sebagaimana kelezatan yang diraih dengan
mengingat Allah. ” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-
Hikam, hal. 562). Sekarang, yang menjadi
pertanyaan kita adalah; mengapa banyak di antara
kita yang tidak bisa merasakan kelezatan berdzikir
sebagaimana yang digambarkan oleh para ulama
salaf. Sehingga kita lebih menyukai menonton
sepakbola daripada ikut pengajian, atau lebih suka
menikmati telenovela daripada merenungkan
ayat-ayat-Nya, atau lebih suka berkunjung ke
lokasi wisata daripada memakmurkan rumah-
Nya.
Perhatikanlah ucapan Rabi’ bin Anas berikut ini,
mungkin kita akan bisa menemukan jawabannya.
Rabi ’ bin Anas mengatakan sebuah ungkapan dari
sebagian sahabatnya, “Tanda cinta kepada Allah
adalah banyak berdzikir/mengingat kepada-Nya,
karena sesungguhnya tidaklah kamu mencintai
apa saja kecuali kamu pasti akan banyak-banyak
menyebutnya. ” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam,
hal. 559). Ini artinya, semakin lemah rasa cinta
kepada Allah dalam diri seseorang, maka semakin
sedikit pula ‘kemampuannya’ untuk bisa
mengingat Allah ta’ala. Hal ini secara tidak
langsung menggambarkan kondisi batin kita yang
begitu memprihatinkan, walaupun kondisi
lahiriyahnya tampak baik-baik saja. Aduhai,
betapa sedikit orang yang memperhatikannya!
Ternyata, inilah yang selama ini hilang dan
menipis dalam diri kita; yaitu rasa cinta kepada
Allah…
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan
ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta
untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok
penghambaan dan penyembahan kepada-Nya.
Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak
akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba
kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan
kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan
daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga
rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa
cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu
atasnya, yang membuat segala perkara yang
dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan
ini yang dengannya seorang hamba akan bisa
menggapai kebahagiaan dan
kemenangannya. ” (al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid
at-Tauhid, hal. 95)
Kalau demikian keadaannya, maka solusi untuk
bisa menggapai ketenangan jiwa melalui dzikir
adalah dengan menumbuhkan dan menguatkan
rasa cinta kepada Allah. Dan satu-satunya jalan
untuk mendapatkannya adalah dengan mengenal
Allah melalui keagungan nama-nama dan sifat-
sifat-Nya dan memperhatikan kebesaran ayat-
ayat-Nya, yang tertera di dalam al-Qur ’an
ataupun yang berwujud makhluk ciptaan-Nya.
Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi
hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya rasa cinta
kepada sesuatu merupakan cabang dari
pengenalan terhadapnya. Maka manusia yang
paling mengenal Allah adalah orang yang paling
cinta kepada-Nya. Dan setiap orang yang
mengenal Allah pastilah akan mencintai-Nya. Dan
tidak ada jalan untuk menggapai ma ’rifat ini
kecuali melalui pintu ilmu mengenai nama-nama
Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak akan kokoh
ma ’rifat seorang hamba terhadap Allah kecuali
dengan berupaya mengenali nama-nama dan
sifat-sifat-Nya yang disebutkan di dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah…” (Mu’taqad Ahlis Sunnah
wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal.
16)
Hati seorang hamba akan menjadi hidup, diliputi
dengan kenikmatan dan ketentraman apabila hati
tersebut adalah hati yang senantiasa mengenal
Allah, yang pada akhirnya membuahkan rasa
cinta kepada Allah lebih di atas segala-galanya
(lihat Mu ’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid
al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 21). Di sisi yang lain,
kelezatan di akherat yang diperoleh seorang
hamba kelak adalah tatkala melihat wajah-Nya.
Sementara hal itu tidak akan bisa diperolehnya
kecuali setelah merasakan kelezatan paling agung
di dunia, yaitu dengan mengenal Allah dan
mencintai-Nya, dan inilah yang dimaksud dengan
surga dunia yang akan senantiasa menyejukkan
hati hamba-hamba-Nya (lihat ad-Daa ’ wa ad-
Dawaa’, hal. 261)
Banyak orang yang tertipu oleh dunia dengan
segala kesenangan yang ditawarkannya sehingga
hal itu melupakan mereka dari mengingat Rabb
yang menganugerahkan nikmat kepada mereka.
Hal itu bermula, tatkala kecintaan kepada dunia
telah meresap ke dalam relung-relung hatinya.
Tanpa terasa, kecintaan kepada Allah sedikit demi
sedikit luntur dan lenyap. Terlebih lagi ‘didukung’
suasana sekitar yang jauh dari siraman petunjuk
al-Qur ’an, apatah lagi pengenalan terhadap
keagungan nama-nama dan sifat-Nya. Maka
semakin jauhlah sosok seorang hamba yang
lemah itu dari lingkaran hidayah Rabbnya. Sholat
terasa hampa, berdzikir tinggal gerakan lidah
tanpa makna, dan al-Qur ’an pun teronggok
berdebu tak tersentuh tangannya. Wahai
saudaraku … apakah yang kau cari dalam hidup
ini? Kalau engkau mencari kebahagiaan, maka
ingatlah bahwa kebahagiaan yang sejati tidak akan
pernah didapatkan kecuali bersama-Nya dan
dengan senantiasa mengingat-Nya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Akan tetapi
ternyata kalian lebih mengutamakan kehidupan
dunia, sementara akherat itu lebih baik dan lebih
kekal. ” (QS. al-A’la: 16-17). Allah juga berfirman
mengenai seruan seorang rasul yang sangat
menghendaki kebaikan bagi kaumnya (yang
artinya), “Wahai kaumku, ikutilah aku niscaya
akan kutunjukkan kepada kalian jalan petunjuk.
Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia
ini hanyalah kesenangan (yang semu), dan
sesungguhnya akherat itulah tempat menetap
yang sebenarnya. ” (QS. Ghafir: 38-39) (lihat ad-
Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 260)
Apabila engkau menangis karena ludesnya
hartamu, atau karena hilangnya jabatanmu, atau
karena orang yang pergi meninggalkanmu, maka
sekaranglah saatnya engkau menangisi rusaknya
hatimu … Allahul musta’aan wa ‘alaihit tuklaan.
Sumber: http//muslim.or.id

Lihat Hatimu!!

Rosulullah bersabda dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim
yang artinya: “Sesungguhnya di dalam tubuh ada
segumpal darah. jika segumpal darah tersebut
baik maka akan baik pulalah seluruh tubuhnya,
adapun jika segumpal darah tersebut rusak maka
akan rusak pulalah seluruh tubuhnya, ketahuilah
segumpal darah tersebut adalah hati. ” (Yang lebih
benar untuk penyebutan segumpal darah
( القلب ) tersebut adalah jantung, akan tetapi di
dalam bahasa Indonesia sudah terlanjur biasa
untuk menerjemahkan القلب dengan “hati”).
Maka hati bagaikan raja yang menggerakkan
tubuh untuk melakukan perbuatan-perbuatannya,
jika hati tersebut adalah hati yang baik maka
seluruh tubuhnya akan tergerak untuk
mengerjakan hal-hal yang baik, adapun jika
hatinya adalah hati yang buruk maka tentunya
juga akan membawa tubuh melakukan hal-hal
yang buruk. Hati adalah perkara utama untuk
memperbaiki manusia, Jika seseorang ingin
memperbaiki dirinya maka hendaklah ia
memperbaiki dahulu hatinya!!!
Ketahuilah, hati ini merupakan penggerak bagi
seluruh tubuh, ia merupakan poros untuk
tercapainya segala sarana dalam terwujudnya
perbuatan. Hati laksana panglima yang
memompa pasukannya untuk melawan musuh
atau melemahkan mereka sehingga mundur dari
medan peperangan. Karena hati disifatkan dengan
sifat kehidupan dan kematian, maka hati ini juga
dibagi dalam tiga kriteria yakni hati yang mati, hati
yang sakit dan hati yang sehat.
1. Hati yang Sehat
Yaitu hati yang selamat, hati yang bertauhid
(mengesakan Alloh dalam setiap peribadatannya),
di mana seseorang tidak akan selamat di hari
akhirat nanti kecuali ia datang dengan membawa
hati ini. Alloh berfirman dalam surat as-Syu ’ara
ayat 88-89:
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ
سَلِيمٍ
“(Yaitu) hari di mana tidak berguna lagi harta dan
anak-anak kecuali mereka yang datang menemui
Alloh dengan hati yang selamat (selamat dari
kesyirikan dan kotoran-kotorannya). ” (QS. Asy
Syu’ara: 88,89)
Hati yang sehat ini didefinisikan dengan hati yang
terbebas dari setiap syahwat, selamat dari setiap
keinginan yang bertentangan dari perintah Alloh,
selamat dari setiap syubhat (kerancuan-kerancuan
dalam pemikiran), selamat dari menyimpang
pada kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah
kepada selain Alloh dan berhukum kepada hukum
selain hukum Rosul-Nya. Hati ini mengikhlaskan
peribadatannya hanya kepada Alloh dalam
keinginannya, dalam tawakalnya, dalam
pengharapannya dalam kecintaannya Jika ia
mencintai ia mencintai karena Alloh, jika ia
membenci ia membenci karena Alloh, jika ia
memberi ia memberi karena Alloh, jika ia
menolak ia menolak karena Alloh. Hati ini terbebas
dari berhukum kepada hukum selain Alloh dan
Rosul-Nya. Hati ini telah terikat kepada suatu
ikatan yang kuat, yakni syariat agama yang Alloh
turunkan. Sehingga hati ini menjadikan syariat
sebagai panutan dalam setiap perkataan dan
perbuatannya.
Alloh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian bersikap mendahului Alloh dan Rosul-Nya,
bertakwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (QS. Al
Hujurot: 1)
Pemilik hati yang sehat ini akan senantiasa dekat
dengan Al Quran, ia senantiasa berinteraksi
dengan Al Quran, ia senantiasa tenang,
permasalahan apapun yang dihadapinya akan
dihadapi dengan tegar, ia senantiasa bertawakal
kepada-Nya karena ia mengetahui semua hal
berasal dari Alloh dan semuanya akan kembali
kepada-Nya. Di manapun ia berada zikir kepada
Alloh senantiasa terucap dari lisannya, jika disebut
nama Alloh bergetarlah hatinya, jika dibacakan
ayat-ayatNya maka bertambahlah imannya.
Pemilik hati inilah seorang mukmin sejati, orang
yang Alloh puji dalam Firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا
ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ
زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
(sempurna imannya) ialah mereka yang bila
disebut nama Alloh gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah
iman mereka (karenanya), dan hanya kepada
Allohlah mereka bertawakkal (berserah diri). ” (QS.
Al-Anfaal: 2)
2. Hati yang Mati
Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal
siapa Robbnya, ia tidak menyembah-Nya sesuai
dengan perintah-Nya, ia tidak menghadirkan
setiap perbuatannya berdasarkan sesuatu yang
dicintai dan diridhai-Nya. Hati ini senantiasa
berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan
dunia walaupun di dalamnya ada murka Alloh,
akan tetapi hati ini tidak memperdulikan hal-hal
tersebut, baginya yang terpenting adalah
bagaimana ia bisa melimpahkan hawa nafsunya.
Ia menghamba kepada selain Alloh, jika ia
mencinta maka mencinta karena hawa nafsu, jika
ia membenci maka ia membenci karena hawa
nafsu.
Alloh berfirman:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ
هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ
وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ
وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن
يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا
تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya,
dan Alloh membiarkannya sesat berdasarkan
ilmu-Nya dan Alloh mengunci mati pendengaran
dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesudah Alloh
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu
tidak mengambil pelajaran ?” (QS. Al Jaatsiyah: 23)
Pemilik hati ini jika dibacakan kepadanya ayat-ayat
Al Quran maka dirinya tidak tergetar, ia senantiasa
ingin menjauh dari Al Quran, ia lebih senang
mendengar suara-suara yang membuatnya lalai,
ia lebih senang mendengar nyanyian, mendengar
musik, mendengar suara-suara yang
menggejolakkan hawa nafsunya. Pemilik hati ini
senantiasa gelisah, ia tidak tahu harus kepada
siapa ia menyandarkan dirinya, ia tidak tahu
kepada siapa ia berharap, ia tidak tahu kepada
siapa ia meminta, kehidupannya terombang-
ambing, ke mana saja angin bertiup ia akan
mengikutinya, ke mana saja syahwat
mengajaknya ia akan mengikutinya, wahai betapa
menderitanya pemilik hati ini!
3. Hati yang Sakit
Hati ini adalah hati yang hidup namun
mengandung penyakit. Hati ini akan mengikuti
unsur kuat yang mempengaruhinya, terkadang
hati ini cenderung kepada “kehidupan” dan
terkadang cenderung kepada “penyakit”. Pada hati
ini ada kecintaan kepada Alloh, keimanan,
keikhlasan dan tawakal kepada-Nya. Akan tetapi
pada hati ini juga terdapat kecintaan kepada
syahwat, ketamakan, hawa nafsu, dengki,
kesombongan dan sikap bangga diri.
Ia ada di antara dua penyeru, penyeru kepada
Alloh, Rosul dan hari akhir dan penyeru kepada
kehidupan duniawi. Seruan yang akan
disambutnya adalah seruan yang paling dekat
dan paling akrab kepadanya.
Pemilik hati ini akan senantiasa berubah-ubah,
terkadang ia berada dalam ketaatan dan kebaikan,
terkadang ia berada dalam maksiat dan dosa.
Amalannya senantiasa berubah sesuai dengan
lingkungannya, jika lingkungannya baik maka ia
berubah menjadi baik adapun jika lingkungannya
buruk maka ia akan terseret pula kepada
keburukan.
Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang
hidup, khusyu ’, tawadhu’, lembut dan selalu
berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang
gersang dan mati. Hati yang ketiga adalah hati
yang sakit, kadang-kadang dekat kepada
keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada
kebinasaan.
Maka wahai kaum muslimin! hendaknya kita
menginterospeksi diri kita sendiri, termasuk
dalam golongan yang manakah hati kita? apakah
hati kita termasuk dalam hati yang sehat, hati
yang sakit atau malah hati kita telah mati? Maka
renungkanlah Firman Alloh dalam surat Al-Kahfi
ayat 49:
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى
الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ
وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا
الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا
كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا
مَا عَمِلُوا حَاضِراً وَلَا يَظْلِمُ
رَبُّكَ أَحَداً
“Dan diletakkanlah kitab (kitab amalan perbuatan),
lalu kamu akan melihat orang-orang berdosa
ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di
dalamnya, dan mereka berkata: Aduhai celaka
kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan
yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan
ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa
yang telah mereka kerjakan hadir (tertulis). Dan
Tuhanmu tidak menganiaya seorang
juapun. ” (QS. Al Kahfy: 49)
Dan sebaliknya Firman-Nya dalam Surat Al-Kahfi
ayat 29-30:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ
مَنْ أَحْسَنَ عَمَلاً أُوْلَئِكَ لَهُمْ
جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهِمُ
الْأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ
أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ
ثِيَاباً خُضْراً مِّن سُندُسٍ
وَإِسْتَبْرَقٍ مُّتَّكِئِينَ فِيهَا
عَلَى الْأَرَائِكِ نِعْمَ الثَّوَابُ
وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقاً
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-
nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan
amalan(nya) dengan yang baik. Mereka itulah
(orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn,
mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam
surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan
mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus
dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil
bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah
pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat
yang indah.” (QS. Al Kahfy: 29,30)
Wahai zat yang membolak-bolakkan hati,
teguhkanlah hati kami diatas agamamu, wahai zat
yang membolak-balikkan hati tuntunlah hati kami
teguh di atas ketaatan kepada-Mu …
Sumber: http://muslim.or.id

Minggu, 30 Mei 2010

Tips Bersabar (1): Macam-macam Kesabaran

Allah ta’ala telah memberikan kebaikan di setiap
kondisi yang dialami oleh para hamba-Nya yang
beriman, sehingga mereka senantiasa berada
dalam rengkuhan nikmat Allah ta ’ala.
Mereka mengalami segala kejadian yang
menyenangkan dan menyedihkan, namun segala
takdir yang ditetapkan Allah bagi mereka
merupakan barang perniagaan yang memberikan
untung yang teramat besar.
Hal ini ditunjukkan dalam sebuah sabda yang
diucapkan oleh pemimpin dan suri tauladan bagi
orang-orang yang bertakwa, yaitu nabi shallallahu
‘ alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ
أَمْرَهُ كُلَّهُ عجب. مَا يَقْضِي اللهُ
لَهُ مِنْ قَضَاءٍ إِلاَ كَانَ خَيْرًا
لَهُ, إِِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ
فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ
ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang
mukmin. Segala perkara yang dialaminya
sangat menakjubkan. Setiap takdir yang
ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan
kebaikan. Apabila kebaikan dialaminya,
maka ia bersyukur, dan hal itu merupakan
kebaikan baginya. Dan apabila keburukan
menimpanya, dia bersabar dan hal itu
merupakan kebaikan baginya. ”[1]
Hadits ini mencakup seluruh takdir-Nya yang
ditetapkan bagi para hamba-Nya yang beriman.
Dan segala takdir itu akan bernilai kebaikan,
apabila sang hamba bersabar terhadap takdir
Allah yang tidak menyenangkan dan bersyukur
atas takdir Allah yang disukainya.
Bahkan, hal ini turut tercakup ke dalam kategori
keimanan sebagaimana firman Allah ta ’ala,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا
أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ
إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ
اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِكُلِّ
صَبَّارٍ شَكُورٍ )٥(
“Sesunguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
setiap orang penyabar dan banyak
bersyukur. ” (QS. Ibrahim: 5).
Apabila seorang hamba memperhatikan seluruh
ajaran agama ini, maka dia akan mengetahui
bahwa segenap ajaran agama berpulang pada
kedua hal tadi, yaitu kesabaran dan rasa syukur.
Hal itu dikarenakan kesabaran terbagi menjadi tiga
jenis sebagaimana berikut [2].
Pertama: Sabar dalam melakukan ketaatan
sampai seorang melaksanakannya. Hal ini
dikarenakan seorang hamba hampir dapat
dipastikan tidak dapat melakukan segala perkara
yang diperintahkan kepadanya kecuali setelah
bersabar, berusaha keras untuk bersabar dan
berjihad melawan segenap musuh, baik yang
tampak maupun yang tidak tampak. Kesabaran
jenis inilah yang mempengaruhi penunaian
seorang hamba terhadap segala perkara yang
diwajibkan dan dianjurkan kepada dirinya.
Kedua: Kesabaran terhadap segala perkara yang
terlarang sehingga dirinya tidak mengerjakan
berbagai larangan tersebut. Sesungguhnya nafsu,
tipu daya setan, dan teman sejawat yang buruk
akan senantiasa memerintahkan dan menyeret
seseorang untuk berbuat kemaksiatan. Oleh
karenanya, kekuatan kesabaran jenis ini
mempengaruhi tindakan seorang hamba dalam
meninggalkan segenap kemaksiatan. Sebagian
ulama salaf [3] mengatakan,
أَعْمَالُ الْبِرِّ يَفْعَلُهَا الْبَرُّ
وَ الْفَاجِرُ, وَ لاَ يَقْدِرُ عَلَى
تَرْكِ الْمَعَاصِي إِلاَّ صِدِّيْقٌ
“Setiap orang yang baik maupun yang fajir
(pelaku kemaksiatan) turut melakukan
kebaikan. Namun hanya orang yang bertitel
shiddiq yang mampu meninggalkan seluruh
perkara maksiat. ”
Ketiga: Kesabaran terhadap musibah yang
menimpanya. Musibah ini terbagi menjadi dua,
Jenis pertama: Jenis musibah yang tidak
dipengaruhi oleh turut campur tangan makhluk
seperti penyakit dan musibah lain yang praktis
tidak turut dipengaruhi oleh campur tangan
manusia. Seorang hamba mudah bersabar dalam
menghadapi musibah jenis ini.
Hal itu dikarenakan seorang hamba mengakui
bahwasanya musibah jenis ini termasuk ke dalam
takdir Allah yang tidak dapat ditentang olehnya,
(sehingga) manusia tidak mampu turut campur
dalam permasalahan ini. (Dalam hal ini), sang
hamba hanya mampu bersabar, baik itu terpaksa
maupun sukarela.
Apabila Allah membukakan pintu untuk
merenungi berbagai faedah, kenikmatan dan
kelembutan Allah yang diperolehnya dari
musibah tersebut, maka dirinya pun berpindah
dari derajat bersabar atas musibah yang
menimpanya menuju derajat bersyukur dan ridla
atas musibah tersebut. Dengan seketika, musibah
tadi berubah menjadi nikmat yang dirasakannya,
sehingga lisan dan hatinya senantiasa berkata,
رَبِّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ
وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Wahai Rabb-ku, tolonglah aku untuk
senantiasa mengingat-Mu, bersyukur
kepada-Mu serta memperbaiki segala
peribadatanku kepada-Mu. ”[4]
Kesabaran jenis ini bergantung kepada kekuatan
cinta seorang hamba kepada Allah ta ’ala,
(sehingga meskipun hamba tertimpa musibah,
dia justru dapat bersabar karena kekuatan cinta-
Nya kepada Allah ta ’ala). Hal ini (kesabaran
seorang terhadap perbuatan yang tidak
menyenangkan dari seorang yang dicintainya-
pent) dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-
hari, sebagaimana perkataan sebagian penyair [5]
yang memanggil sang kekasih yang telah
menyakitinya. Dia mengatakan,
لَئِنْ سَاءَنِي أَنْ نِلْتَنِي
بِمَسَاءَةٍ
لَقَدْ سَرَّنِي أَنِّي خَطَرْتُ
بِبَالِكَ
Meskipun (sang kekasih) telah menyakitiku
Namun kenangan di Balika (bersama
kekasih) yang terlintas di benak, sungguh
telah menyenangkan hatiku
Jenis keempat [kedua],[6] adalah musibah
berupa tindakan manusia yang menganggu
harta, kehormatan dan jiwa seorang.
Bersabar terhadap musibah jenis ini sangat sulit
dilakukan, karena jiwa manusia akan senantiasa
mengingat pihak yang telah menyakitinya.
Begitupula jiwa (cenderung) enggan dikalahkan
sehingga dia senantiasa berupaya untuk
menuntut balas. Oleh karenanya, hanya para nabi
dan orang-orang yang bertitel shiddiq saja yang
mampu bersabar terhadap musibah jenis ini.
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila
disakiti, beliau hanya mengucapkan,
يَرْحَمُ اللَّهُ مُوسَى لَقَدْ أُوذِيَ
بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ
“Semoga Allah merahmati Musa. Sungguh
beliau telah disakiti (oleh kaumnya) dengan
(musibah) yang lebih daripada (ujian yang
saya alami ini), namun beliau dapat
bersabar. ”[7]
Salah sorang nabi pun (bersabar dan hanya)
berkata ketika dipukul oleh kaumnya,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي
فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Ya Allah ampunilah kaumku, karena
sungguh mereka tidak mengetahui.”[8]
Telah diriwayatkan dari nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwasanya beliau pernah mengalami
ujian yang dialami oleh nabi tadi dan beliau
mengucapkan perkataan yang serupa. [9]
(Dengan demikian), ucapan do’a tersebut
mengumpulkan tiga perkara, yaitu pemaafan
(dari pihak yang disakiti) terhadap tindakan
mereka, permintaan ampun kepada Allah untuk
mereka dan pengajuan dispensasi (kepada
Allah) dikarenakan ketidaktahuan mereka.
(Apabila seorang melakukannya), maka kesabaran
jenis ini akan menghasilkan pertolongan,
petunjuk, kebahagiaan, keamanan dan kekuatan
serta mempertebal rasa cinta Allah dan manusia
terhadap dirinya juga menambah keilmuan orang
tersebut.
Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً
يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا
وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
‘Dan Kami jadikan di antara mereka itu
pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika
mereka sabar. dan adalah mereka meyakini
ayat-ayat kami. ” (QS. As Sajdah: 24).
Sehingga, kepemimpinan dalam agama dapat
diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan
(keimanan) [10]. Apabila kekuatan keyakinan dan
keimanan mengiringi kesabaran ini, maka
seorang hamba akan menaiki berbagai tingkatan
kebahagiaan dengan karunia Alah ta ’ala. Dan itulah
karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai
karunia yang besar. Oleh karenanya Allah
berfirman,
ô ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ
عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ )34(
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ
صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو
حَظٍّ عَظِيمٍ )35(
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang
sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-
orang yang sabar dan tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang
mempunyai keuntungan yang besar. ” (QS.
Fushshilaat: 34-35).
-bersambung insya Allah-
Diterjemahkan dari risalah Ahmad bin Abdul
Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -
semoga Allah merahmati beliau-
Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Sebab-Sebab Penghapus Dosa

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
mengatakan:
“Dosa-dosa itu akan mengurangi keimanan. Jika
seorang hamba bertaubat, Allah k akan
mencintainya. Derajatnya akan diangkat
disebabkan taubatnya.
Sebagian salaf mengatakan: ‘Dahulu setelah Nabi
Dawud ‘alaihissalam bertaubat, keadaannya lebih
baik dibandingkan sebelum terjatuh dalam
kesalahan. Barangsiapa yang ditakdirkan untuk
bertaubat maka dirinya seperti yang dikatakan Sa’id
ibnu Jubair radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya
seorang hamba yang melakukan amalan kebaikan,
bisa jadi dengan sebab amalan kebaikannya itu
akan memasukkannya ke dalam neraka. Bisa jadi
pula seorang hamba melakukan amalan kejelekan
akan tetapi membawa dirinya masuk ke dalam
surga. Hal itu karena ia membanggakan amalan
kebaikannya. Sebaliknya, hamba yang terjatuh ke
dalam kejelekan membawa dirinya untuk meminta
ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta ’ala,
kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengampuni kesalahan-kesalahannya.”
Telah disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِمِ
“Amal-amal (seorang hamba) tergantung amalan-
amalan yang dikerjakan pada akhir kehidupannya.”
Sesungguhnya kesalahan/dosa seorang mukmin
akan dihapuskan dengan sepuluh sebab, sebagai
berikut:
1. Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengampuninya. Karena seseorang yang
bertaubat dari sebuah dosa seperti orang yang
tidak memiliki dosa.
2. Meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa
Ta ’ala kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengampuninya.
3. Mengerjakan amalan-amalan kebaikan, karena
amalan-amalan kebaikan akan menghapuskan
amalan-amalan kejelekan.
4. Mendapatkan doa dari saudara-saudaranya yang
beriman. Mereka memberikan syafaat kepadanya
ketika masih hidup dan sesudah meninggal.
5. Mendapatkan hadiah pahala dari amalan-amalan
saudara-saudaranya yang beriman agar Allah
Subhanahu wa Ta ’ala memberikan manfaat
kepadanya dari hadiah tersebut. 6. Mendapatkan
syafaat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Mendapatkan musibah-musibah di dunia ini
yang akan menghapuskan dosa-dosanya.
8. Mendapatkan ujian-ujian di alam barzakh yang
akan menghapus dosa-dosanya.
9. Mendapatkan ujian-ujian di padang Mahsyar
pada hari kiamat yang akan menghapuskan dosa-
dosanya.
10. Mendapatkan rahmat dari Arhamur Rahimin,
Allah Subhanahu wa Ta ’ala.
Barangsiapa yang tidak memiliki salah satu sebab
dari sebab-sebab yang bisa menghapuskan dosa-
dosa ini, janganlah ia mencela kecuali kepada
dirinya sendiri. Sebagaimana Allah Subhanahu wa
Ta ’ala berfirman:
يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ
أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ
إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا
فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ
ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya ini
adalah amalan-amalanmu. Aku menghitungnya
untukmu kemudian Aku membalasinya untukmu.
Maka barangsiapa yang mendapatkan kebaikan
hendaklah ia memuji Allah, dan barangsiapa yang
mendapatkan selain daripada itu maka janganlah ia
mencela kecuali kepada dirinya sendiri. ”
(Diambil dari Risalah Tuhfatul ‘Iraqiyah fi A’malil
Qalbiyyah hal. 32-33, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu)

NAMINAH (MENGADU DOMBA)

Namimah adalah mengadukan ucapan
seseorang kepada orang lain dengan tujuan
merusak salah satu faktor yang menyebabkan
terputusnya ikatan, serta yang menyulut api
kebencian dan permusuhan antar sesama
manusia.
Allah Subhanahu wata’ala mencela pelaku
perbuatan tersebut dalam firmanNya :
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang
banyak bersumpah lagi hina yang banyak
mencela, yang kian kemari menghambar fitnah:
(Al Qalam : 10-11).
Dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan
Hudzaifah Radhiallahu’anhu disebutkan :
“Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang
adu domba] [HR Al Bukhari, lihat Fathul
Bari :10/472].
Dalam An Nihayah karya Ibnu Katsir 4/11
disebutkan : ” Al qattat adalah orang yang
menguping (mencuri dengar pembicaraan)
tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa
pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan
tujuan mengadu domba ”.
Ibnu Abbas meriwayatkan :
“(suatu hari) Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
melewati sebuah kebun di antara kebun-kebun
Madinah, tiba-tiba beliau mendengar dua orang
yang disiksa dalam kuburnya, lalu Nabi
Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda : “Keduanya
disiksa, padahal tidak karena masalah yang besar
(dalam anggapan keduanya) –lalu bersabda–
benar (dalam sebuah riwayat disebutkan:
padahal sesungguhnya ia adalah persoalan
besar) seorang diantaranya tidak meletakkan
sesuatu untuk melindungi diri dari percikan
kencingnya dan seorang lagi (karena) suka
mengadu domba ” (HR Al Bukhari, Fathul
Bari :1/317).
Di antara bentuk Namimah yang paling buruk
adalah hasutan yang dilakukan terhadap seorang
lelaki tentang istrinya atau sebaliknya, dengan
maksud untuk merusak hubungan suami istri
tersebut. Demikian juga adu domba yang
dilakukan sebagian karyawan kepada teman
karyawannya yang lain. Misalnya dengan
mengadukan ucapan-ucapan kawan tersebut
kepada direktur atau atasan dengan maksud
untuk menfitnah dan merugikan karyawan
tersebut. Semua hal ini hukumnya haram.

Hati-hati Membicarakan Orang Lain

sumber:
http://www.alsofwah.or.id/?
pilih=lihatannur&id=343
Membicarakan aib orang lain atau ghibah
telah Allah haramkan secara jelas dan
tegas di dalam kitab-Nya dan melalui lisan
rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala
berfirman, artinya,
“Dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Sukakah
salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati. Maka
tentulah kamu merasa jijik
kepadanya.” (QS. al-Hujurat:12)
Penjelasan tentang hakikat ghibah telah
disebutkan di dalam hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan
oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yaitu,
“Engkau membicarakan saudaramu dengan
sesuatu yang dia tidak suka (untuk
diungkapkan).” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga
telah mengharamkan kehormatan seorang
mukmin dan mengaitkannya dengan hari
Arafah, bulan haram, dan tanah haram.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian,
dan kehormatan kalian adalah haram atas
kalian, sebagaimana haramnya hari kalian
ini, di bulan kalian ini, dan di negri kalian ini.
Ingat! Bukankah aku telah
menyampaikan?” (HR Muslim).
Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan
dengan sangat tegas bahwa
membicarakan aib dan kehormatan
seorang mukmin itu lebih parah
dibandingkan dengan seseorang yang
menikahi ibunya sendiri. Diriwayatkan dari
al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu dia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Riba itu mempunyai tujuh puluh dua pintu,
yang paling rendah seperti seseorang yang
menikahi ibunya. Dan riba yang paling besar
yakni seseorang yang berlama-lama
membicarakan kehormatan
saudaranya.” (Silsilah ash-Shahihah no.
1871)
Di dalam sebuah potongan hadist, riwayat
dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Siapa yang berkata tentang seorang
mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi
(tidak dia perbuat), maka Allah subhanahu
wata’ala akan mengurungnya di dalam
lumpur keringat ahli neraka, sehingga dia
menarik diri dari ucapannya (melakukan
sesuatu yang dapat membebaskannya)
.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim,
disetujui oleh adz-Dzahabi, lihat Silsilah
ash-Shahihah no. 437)
Diriwayatkan dari Abdur Rahman bin
Ghanam radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
bersabda,
“Sebaik-baik hamba Allah adalah orang
yang jika dilihat (menjadi perhatian)
disebutlah nama Allah, dan seburuk-buruk
hamba Allah adalah orang yang berjalan
dengan mengadu domba, memecah belah
antara orang-orang yang saling cinta, dan
senang untuk membuat susah orang-orang
yang baik.” (HR. Ahmad 4/227, periksa juga
kitab “Hashaid al-Alsun” hal. 68)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Wahai sekalian orang yang telah
menyatakan Islam dengan lisannya namun
iman belum masuk ke dalam hatinya,
janganlah kalian semua menyakiti sesama
muslim, janganlah kalian membuka aib
mereka, dan janganlah kalian semua
mencari-cari (mengintai) kelemahan
mereka. Karena siapa saja yang mencari-
cari kekurangan saudaranya sesama
muslim maka Allah akan mengintai
kekurangannya, dan siapa yang diintai oleh
Allah kekurangannya maka pasti Allah
ungkapkan, meskipun dia berada di dalam
rumahnya.” (HR. at-Tirmidzi, dishahihkan
oleh al-Albani dalam shahih sunan at-
Tirmidzi 2/200)
Para salaf adalah orang yang sangat
menjauhi ghibah dan takut jika terjerumus
melakukan hal itu. Di antaranya adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari, dia berkata, “Aku
mendengar Abu ‘Ashim berkata,
“Semenjak aku ketahui bahwa ghibah
adalah haram, maka aku tidak berani
menggunjing orang sama sekali.” (at-
Tarikh al-Kabir (4/336)
Al-Imam al-Bukhari mengatakan, “Aku
berharap untuk bertemu dengan Allah
subhanahu wata’ala dan Dia tidak
menghisab saya sebagai seorang yang
telah berbuat ghibah terhadap orang lain.”
Imam Adz-Dzahabi berkomentar, “Benarlah
apa yang beliau katakan, siapa yang
melihat ucapan beliau di dalam jarh dan
ta’dil (menyatakan cacat dan jujurnya
seorang perawi) maka akan tahu kehati-
hatian beliau di dalam membicarakan orang
lain, dan sikap inshaf (obyektif) beliau di
dalam mendhaifkan/melemahkan
seseorang.
Lebih lanjut beliau (adz-Dzahabi)
mengatakan, “Apabila aku (Imam al-
Bukhari) berkata si Fulan dalam haditsnya
ada catatan, dan dia diduga seorang yang
lemah hafalannya, maka inilah yang
dimaksudkan dengan ucapan beliau
“Semoga Allah subhanahu wata’ala tidak
menghisab saya sebagai orang yang
melakukan ghibah terhadap orang lain.”
Dan ini merupakan salah satu dari puncak
sikap wara’. (Siyar A’lam an -Nubala’
12/439)
Beliau juga mengatakan, “Aku tidak
menggunjing seseorang sama sekali
semenjak aku ketahui bahwa ghibah itu
berbahaya bagi pelakunya.” (Siyar a’lam an-
Nubala’ 12/441) Para salaf apabila terlanjur
menggunjing orang lain, maka mereka
langsung melakukan introspeksi diri. Ibnu
Wahab pernah berkata, “Aku bernadzar
apabila suatu ketika menggunjing
seseorang maka aku akan berpuasa satu
hari. Aku pun berusaha keras untuk
menahan diri, tetapi suatu ketika aku
menggunjing, maka aku pun berpuasa.
Maka aku berniat apabila menggunjing
seseorang, aku akan bersedekah dengan
satu dirham dan karena sayang terhadap
dirham, maka aku pun meninggalkan
ghibah.”
Berkata imam adz-Dzahabi, “Demikianlah
kondisi para ulama, dan itu merupakan buah
dari ilmu yang bermanfaat.” (Siyar: 9/228)
Bahkan seorang yang melakukan ghibah
pada hakikatnya sedang memberikan
kebaikannya kepada orang lain yang dia
gunjing. Bahkan Abdur Rahman bin Mahdi
berkata, “Andaikan aku tidak benci karena
bermaksiat kepada Allah subhanahu
wata’ala, maka tentu aku berharap tidak
ada seorang pun di Mesir, ini kecuali aku
menggunjingnya, yakni karena dengan itu
seseorang akan mendapatkan kebaikan di
dalam catatan amalnya, padahal dia tidak
melakukan sesuatu.” (Siyar: 9/195)
Maka para aktivis dakwah di masa ini yang
melakukan ghibah atau membicarakan aib
saudaranya sesama muslim dengan alasan
untuk meluruskan kesalahan dan demi
kebaikan, alangkah baiknya sebelum
membicarakan orang lain merenung kan
beberapa masalah berikut:
Pertama;
Apakah yang dia lakukan itu adalah ikhlas dan
merupakan nasihat untuk Allah subhanahu
wata’ala, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kaum muslimin? Ataukah merupakan
dorongan hawa nafsu baik tersembunyi atau
terang-terangan? Atukah itu merupakan hasad
dan kebencian terhadap orang yang dia gunjing?
Memperjelas apa latar belakang yang
mendorong untuk membicarakan orang lain
sangatlah penting. Sebab berapa banyak
orang yang terjerumus ke dalam ghibah
dan menggunjing orang lain karena
dorongan nafsu tercela sebagaimana
tersebut di atas. Lalu dia menyangka
bahwa yang mendorong dirinya untuk
menggunjing adalah karena menyampaikan
nasehat dan menginginkan kebaikan.
Ini merupakan ketergelinciran jiwa yang
sangat pelik, yang tidak diketahui oleh
kebanyakan manusia, kecuali setelah
merenung dan berpikir mendalam penuh
rasa ikhlas dan murni karena Allah
subhanahu wata’ala.
Ke dua;
Harus dilihat dulu bentuk masalahnya ketika
membicarakan aib seseorang, apakah
merupakan hal-hal yang di situ memang
dibolehkan untuk ghibah ataukah tidak? Ke tiga
; Renungkan berkali-kali sebelum mengeluarkan
kata-kata untuk membicarakan orang lain; Apa
jawaban yang saya sampaikan nanti di hadapan
Allah subhanahu wata’ala pada hari Kiamat jika
Dia bertanya, “Wahai hamba-Ku si Fulan,
mengapa engkau membicarakan si Fulan
dengan ini dan ini?”
Hendaknya selalu ingat bahwa Allah
subhanahu wata’ala telah berfirman,
“Dan ketahuilah bahwasannya Allah
mengetahi apa yang ada dalam hatimu;
maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Dan Ibnu Daqiq al-Ied juga telah berkata,
“Kehormatan manusia merupakan salah
satu jurang dari jurang jurang neraka yang
para ahli hadits dan ahli hukum diam apabila
telah berhadapan dengannya. (Thabaqat
asy Syafi’iyyah al Kubra 2/18). Wallahu
a’lam.
Sumber: “Manhaj Ahlussunnah fi an-Naqdi
wal Hukmi ‘alal Akharin, hal 17-20, Hisyam
bin Ismail ash-Shiini
.
=========================================
Netter Al-Sofwa yang dimuliakan Allah
Ta’ala, Menyampaikan Kebenaran adalah
kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita
saat ini untuk berdakwah adalah dengan
menyampaikan buletin ini kepada saudara-
saudara kita yang belum mengetahuinya.
Semoga Allah Ta’ala Membalas ‘Amal
Ibadah Kita. Aamiin
Waassalamu’alaikum warahmatullaahi
wabarakatuh
———————————————————————
YAYASAN AL-SOFWA
Jl.Raya Lenteng Agung Barat No.35
PostCode:12810
Jakarta Selatan – Indonesia
e-mail: info @alsofwah.or.id
website: www.alsofwah.or.id

Sabtu, 29 Mei 2010

Kunci KEBAHAGIAAN

Bismillaah,
walhamdulillaah, wash sholaatu wassalaamu
alaa rosuulillaah, wa alaa aalihii wa shohbihii wa
man waalaah …
Menindak lanjuti anjuran Syeikh Abdur Rozzaq -
hafizhohulloh- dalam tabligh akbarnya -(di Masjid
Istiqlal 1 Shofar 1431 / 17 Januari 2010)- untuk
menyebarkan uraian Ibnul Qoyyim tentang
kunci kebahagiaan, maka pada kesempatan ini,
kami berusaha menerjemahkannya untuk para
pembaca, semoga tulisan ini bermanfaat untuk
kita semua …
SEBAB-SEBAB LAPANGNYA DADA
(1) Sebab utama lapangnya dada adalah:
TAUHID.
Seperti apa kesempurnaan, kekuatan, dan
bertambahnya tauhid seseorang, seperti itu pula
kelapangan dadanya. Alloh ta ’ala berfirman:
أَفَمَن شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ
لِلإسْلامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِّنْ
رَبِّه ]الزمر: 22[.
Apakah orang yang dibukakan hatinya oleh Alloh
untuk menerima Islam, yang oleh karenanya dia
mendapat cahaya dari Tuhannya, (sama dengan
orang yang hatinya membatu?!)
Alloh juga berfirman:
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَن يَهْدِيَهُ
يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلاَمِ، وَمَن
يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ
ضَيِّقًا حَرَجاً كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ
فِى السَّمَاءِ ]الأنعام: 125[.
Barangsiapa dikehendaki Alloh mendapat
hidayah, maka Dia akan membukakan hatinya
untuk menerima Islam. Sedang barangsiapa
dikehendaki-Nya menjadi sesat, maka Dia akan
jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan
dia sedang mendaki ke langit.
Maka, petunjuk dan tauhid adalah sebab utama
lapangnya dada. Sebaliknya syirik dan kesesatan,
adalah sebab utama sempit dan gundahnya
dada.
(2) Diantara sebab lapangnya dada adalah:
Cahaya yang ditanamkan Alloh ke dalam hati
hamba-Nya, yakni CAHAYA IMAN.
Sungguh cahaya itu akan melapangkan dan
meluaskan dada, serta membahagiakan hati.
Apabila cahaya ini hilang dari hati seorang
hamba, maka hati itu akan menjadi ciut dan
gundah, sehingga menjadikannya berada dalam
penjara yang paling sempit dan sulit.
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Jami’nya,
bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam-
bersabda: “Jika cahaya (iman) itu masuk ke
dalam hati, maka ia akan menjadi luas dan
lapang ”. Mereka (para sahabat) bertanya: “Wahai
Rosululloh, lalu apa tanda-tandanya?” Beliau
menjawab: “(Tandanya adalah jika hatinya
menginginkan) kembali ke rumah keabadian,
menjauh dari rumah kepalsuan, dan bersiap-siap
menghadapi kematian sebelum ia datang ”.
Maka, seorang hamba akan mendapatkan
kelapangan dadanya, sesuai bagiannya dari
cahaya (iman) ini. Hal ini menyerupai cahaya dan
kegelapan yang kasat mata, karena cahaya dapat
melapangkan hati, sedang kegelapan bisa
menciutkannya.
(3) Diantaranya lagi adalah: ILMU.
Ilmu akan melapangkan dada dan
meluaskannya, hingga ia bisa menjadikannya
lebih luas dari dunia. Sebaliknya kebodohan bisa
menjadikan hati ciut, terkepung, dan terpenjara.
Semakin luas ilmu seorang hamba, maka
semakin lapang dan luas pula dadanya. Tentu,
hal ini tidak berlaku untuk semua ilmu, akan
tetapi hanya untuk ilmu yang diwariskan dari
Rosul -shollallohu alaihi wasallam, yakni ilmu
yang bermanfaat. Oleh karena itu, ahli ilmu
menjadi orang yang paling lapang dadanya,
paling luas hatinya, paling bagus akhlaknya, dan
paling baik hidupnya.
(4) Diantaranya lagi adalah: Kembali kepada
Alloh ta’ala, mencintai-Nya sepenuh hati,
menghadap pada-Nya, dan mencari kenikmatan
dalam mengibadahi-Nya. Karena, tidak ada
sesuatu pun yang lebih mampu melapangkan
dada seorang hamba melebihi itu semua, hingga
kadang hati itu mengatakan: “Seandainya di
dalam surga nanti, keadaanku seperti ini, maka
sungguh itu berarti aku dalam kehidupan yang
baik ”.
Sungguh kecintaan itu memiliki pengaruh yang
menakjubkan dalam melapangkan dada,
membaikkan jiwa, dan menikmatkan hati. Tidak
ada yang tahu hal itu, kecuali orang yang pernah
merasakannya. Dan ketika cinta itu semakin kuat
dan hebat, maka saat itu pula dada menjadi
semakin luas dan lapang.
Dan hati ini tidak akan menciut, kecuali saat
melihat para pengangguran yang kosong dari
hal ini. Sungguh melihat mereka hanya akan
mengotorkan mata hati, dan berkumpul dengan
mereka hanya akan membuat gerah jiwa.
Diantara sebab utama ciutnya dada adalah:
Berpalingnya hati dari Alloh ta’ala,
bergantungnya hati pada selain-Nya, lalainya hati
dari mengingat-Nya, dan kecintaan hati pada
selain-Nya.
Karena, barangsiapa mencintai sesuatu selain
Alloh, niscaya ia akan disiksa dengannya, dan
hatinya akan terpenjara oleh kecintaannya pada
sesuatu tersebut.
Sehingga tiada orang di muka bumi ini, yang
lebih sengsara, lebih penat, lebih buruk, dan lebih
payah hidupnya melebihinya.
Maka, di sini ada dua cinta:
(a) Cinta yang merupakan: surga dunia,
kebahagiaan jiwa, dan kelezatan hati. Cinta yang
merupakan kenikmatan, santapan, dan obatnya
ruh. Bahkan dialah kehidupan ruh dan sesuatu
yang paling disenanginya. Dialah cinta kepada
Alloh semata dengan sepenuh hati, dan
tertariknya semua kesenangan, keinginan, dan
kecintaan hati hanya kepada-Nya.
(b) Dan cinta yang merupakan: siksaan ruh,
kegundahan jiwa, penjara hati, dan sempitnya
dada. Dialah sebab sakit, susah, dan beratnya
jiwa. Itulah kecintaan kepada selain Alloh
subhanahu wa ta ’ala.
(5) Diantara sebab-sebab lapangnya dada
adalah: Melanggengkan dzikir (mengingat)-
Nya di segala tempat dan masa. Karena, dzikir itu
memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam
melapangkan dada dan menikmatkan hati.
Sebaliknya, lalai memiliki pengaruh yang
menakjubkan dalam menciutkan,
memenjarakan, dan menyiksa hati seorang
hamba.
(6) Diantaranya lagi adalah: Membantu orang
lain, dan memberikan manfaat kepada mereka,
dengan apa yang ia mampui, dari hartanya,
kedudukannya, badannya, dan berbagai macam
kebaikan untuk orang lain.
Oleh karena itu, orang yang dermawan dan
punya banyak jasa, adalah orang yang paling
lapang dadanya, paling baik jiwanya, dan paling
nikmat hatinya. Sedangkan si bakhil yang tidak
punya jasa baik, adalah orang yang paling
sempit dadanya, paling buruk hidupnya, dan
paling banyak gundah gulananya.
Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah
memberikan perumpamaan untuk si bakhil dan
sang dermawan dalam sebuah hadits shohih
(riwayat Muslim: 1021), yaitu: Seperti dua orang
yang mempunyai baju perang dari besi. Setiap
kali sang dermawan ingin bersedekah, baju besi
itu menjadi tambah luas dan lebar, hingga ia
menyeret bajunya dan menjadi panjang
jejaknya. Sedangkan si bakhil, setiap kali ingin
bersedekah, maka semua lingkaran rantai (yang
menjadi penghubung rangkaian baju besi) itu
menetapi tempatnya, dan tidak melebar hingga
tidak cukup untuknya.
Maka, inilah perumpamaan lapang dan luasnya
dada seorang mukmin yang dermawan, dan ini
pula perumpamaan ciut dan sempitnya dada si
bakhil.
(7) Dan diantaranya lagi adalah: Keberanian.
Makanya seorang pemberani adalah seorang
yang lapang dadanya, serta luas jiwa dan
hatinya.
Sedangkan pengecut, adalah seorang yang
paling ciut dadanya, dan paling terbatas hatinya.
Ia tidak memiliki kesenangan dan kebahagiaan. Ia
juga tidak memiliki kenikmatan, kecuali
kenikmatan yang dirasakan oleh hewan saja.
Adapun kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan, dan
kesenangan jiwa, maka itu tidak akan diberikan
kepada mereka yang pengecut, sebagaimana ia
tidak diberikan kepada mereka yang bakhil, dan
mereka yang berpaling dari Alloh subhanah, lalai
dari mengingat-Nya, jahil dengan-Nya, dengan
nama-namaNya, dengan sifat-sifatNya, dan
dengan agama-Nya, serta hatinya tergantung
dengan selain-Nya.
Sungguh kenikmatan dan kebahagiaan ini, akan
menjadi taman dan surga di alam kubur nanti.
Sebaliknya keciutan dan kesempitan hati mereka,
akan menjadi siksaan dan penjara di alam
kuburnya.
Maka, keadaan hamba di alam kubur nanti, itu
seperti keadaan hati di dalam dada, baik dalam
hal kenikmatan, siksaan, kebebasan, maupun
terpenjaranya.
Dan bukan patokan, bila ada kelapangan hati bagi
si ini, dan keciutan hati bagi si itu, karena adanya
sesuatu yang datang. Karena ia akan hilang
dengan hilangnya sesuatu yang datang itu. Akan
tetapi yang menjadi patokan adalah sifat yang
menancap di hati, yang dapat membuatnya
lapang atau ciut. Itulah timbangannya… Wallohul
musta’an.
(8) Diantaranya lagi -bahkan ini salah satu
yang utama- adalah: Membersihkan hati dari
kotoran, seperti sifat-sifat tercela yang
menyebabkan hati menjadi ciut, tersiksa, dan
menghalangi kesehatannya.
Karena, jika sebab-sebab lapangnya hati itu
datang kepada seseorang, sedang ia belum
mengeluarkan sifat-sifat tercela itu dari hatinya,
maka ia tidak akan mendapatkan kelapangan hati
yang berarti. Hasil akhirnya adalah adanya dua
materi yang memenuhi hatinya, dan hatinya
akan dikuasai oleh apa yang lebih banyak
menempati hatinya.
(9) Dan diantaranya lagi adalah:
Meninggalkan setiap yang berlebihan, baik
dalam ucapan, penglihatan, pendengaran,
pergaulan, makanan, ataupun tidur. Karena sikap
berlebihan dalam ini semua, dapat menyebabkan
hati menjadi sakit, gundah, resah, terkepung,
terpenjara, ciut, dan tersiksa karenanya. Bahkan
kebanyakan siksaam dunia dan akhirat,
bersumber darinya.
Maka, laa ilaaha illallooh… betapa ciutnya dada
orang yang menyimpan semua penyakit ini,
betapa susah hidupnya, betapa buruk
keadaannya, dan betapa terkepung hatinya …
Dan Laa ilaaha illallooh… betapa nikmatnya
kehidupan seseorang yang dadanya menyimpan
semua sifat yang terpuji itu, serta cita-citanya
berputar dan mengitari semua sifat itu. Tentulah
orang ini memiliki bagian yang agung dari
firman Alloh ta ’ala:
إنَّ الأَبْرَارَ لَفِى نَعِيم ]الانفطار:
13[
Sesungguhnya orang yang baik amalannya,
berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan.
Adapun yang itu, mereka memiliki bagian yang
besar dari firman-Nya:
وإنَّ الفُجَّارَ لَفِى جَحِيمٍ
]الانفطار: 14[
Sesungguhnya orang-orang yang buruk
amalannya, berada dalam neraka (yang penuh
kesengsaraan)
Dan diantara keduanya ada banyak tingkatan
yang berbeda-beda, tiada yang dapat
menghitungnya, kecuali Alloh tabaaroka wa
ta ’aala.
Maksud kami (membawakan pembahasan ini
adalah agar kita tahu): Bahwa Rosululloh -
shollallohu alaihi wasallam- adalah makhluk yang
paling sempurna dalam semua sifat terpuji yang
bisa menjadikan kelapangan dada, keluasan hati,
qurrotu ain, dan kehidupan jiwa. Oleh karena
itulah, beliau menjadi makhluk yang paling
sempurna dalam kelapangan dada, kehidupan
hati, dan qurrotu ain. Belum lagi keistimewaan
beliau dalam kelapangan hidup yang bisa dilihat
mata.
Dan makhluk yang paling sempurna dalam
menirunya, dialah makhluk yang paling
sempurna dalam kelapangan, kelezatan, dan
qurrotu ainnya. Seperti apa seorang hamba
dalam meniru beliau, maka seperti itu pula ia
akan mendapatkan kelapangan dada, qurrotu
ain, dan kelezatan jiwanya.
Maka, beliau -shollallohu alaihi wasallam- adalah
orang yang menempati posisi puncak
kesempurnaan dari kelapangan dada, kemuliaan
nama, dan minimnya dosa. Dan bagi
pengikutnya dalam semua itu, ada bagian yang
sesuai dengan kadar pengikutannya kepada
beliau… wallohul musta’an.
Dan demikian pula (dalam hal lainnya), bagi
pengikut beliau, ada bagian dari perlindungan,
penjagaan, pembelaan, pemuliaan, pertolongan
Alloh untuk mereka, tergantung porsi
peneladanan mereka terhadap beliau. Ada yang
dapat bagian sedikit, ada juga yang dapat bagian
banyak. Maka barangsiapa yang mendapati
kebaikan pada dirinya, maka hendaklah ia
memuji Alloh. Adapun yang mendapati selain
itu, maka janganlah ia mencela selain dirinya.
(Bagi yang ingin membaca naskah aslinya dalam
bahasa arab, silahkan merujuknya ke kitab
Zaadul Ma ’aad, karya Ibnul Qoyyim, jilid 2, hal.
23)

LA TAHZAN (jangan bersedih)

Jangan bersedih, karena Anda telah
melalui kesedihan itu kemarin dan
ia tidak memberi manfaat apapun.
Ketika anak Anda gagal dalam ujian
dan Anda bersedih karenanya,
apakah kemudian anak Anda lulus
karena kesedihan itu? Saat bapak
Anda meninggal dan Anda
bersedih, apakah ia akan hidup
kembali? Manakala Anda merugi
dalam suatu bisnis dan kemudian
Anda bersedih, apakah kemudian
kerugian itu berubah menjadi
keuntungan?
Jangan bersedih, sebab bila Anda
bersedih gara-gara satu musibah
maka musibah yang satu itu akan
menjadi berlipat ganda. Ketika
Anda bersedih karena kemiskinan
atau kesengsaraan yang Anda
alami, bukankah kesedihan itu
hanya menambah kesusahan
Anda saja? Saat Anda bersedih
karena cercaan musuhmusuh
Anda, pastilah kesedihan itu hanya
akan menguntungkan dan
menambah semangat mereka
untuk menyerang Anda. Atau,
ketika Anda mencemaskan
terjadinya sesuatu yang tidak Anda
sukai, ia akan mudah terjadi pada
Anda.
Jangan bersedih, karena kesedihan
itu akan membuat rumah yang
luas, isteri yang cantik, harta yang
berlimpah, kedudukan yang tinggi,
dan anak-anak yang cerdas tidak
ada gunanya sedikit pun.
Jangan bersedih, sebab kesedihan
hanya akan membuat air yang
segar terasa pahit, dan sekuntum
bunga mawar yang indah tampak
seperti sebongkok labu, taman
yang rimbun tampak seperti
gurun pasir yang gersang, dan
kehidupan dunia menjadi penjara
yang pengap.
Jangan bersedih, karena rasa sakit
dapat sirna, cobaan akan pergi,
dosa akan terampuni, hutang akan
terbayar, narapidana akan
dibebaskan, orang yang hilang
akan kembali, orang yang
melakukan kemaksiatan akan
bertaubat, dan orang yang fakir
akan menjadi kaya.
Jangan bersedih karena Anda
masih memiliki Agama yang Anda
yakini, rumah yang Anda diami,
nasi yang Anda makan, air yang
Anda minum, pakaian yang Anda
pakai, dan isteri tempat Anda
berbagi rasa. Mengapa harus
bersedih?
Jangan bersedih, karena rasa sedih
datangnya dari setan. Kesedihan
adalah rasa putus asa yang
menakutkan, kefakiran yang
menimpa, putus asa yang
berkelanjutan, depresi yang harus
dihadapi, dan kegagalan yang
menyakitkan.
Jangan bersedih, sebab usia Anda
yang sebenarnya adalah
kebahagiaan dan ketenangan hati
Anda. Oleh sebab itu; jangan
habiskan usia Anda dalam
kesedihan, jangan boroskan
malam-malam Anda dalam
kecemasan, jangan berikan menit-
menit Anda untuk kegundahan,
dan jangan berlebihan dalam
menyia-nyiakan hidup, sebab Allah
tidak suka orang-orang yang
berlebihan.
Jangan bersedih, karena kesedihan
hanya akan membuatmu lemah
dalam beribadah, membuatmu
malas berjihad, membuatmu
putus harapan, menggiringmu
untuk berburuk sangka, dan
menenggelamkanmu ke dalam
pesimisme.
Jangan bersedih, sebab rasa sedih
dan gundah adalah akar penyakit
jiwa, sumber penyakit syaraf,
penghancur jiwa, dan penebar
keraguan dan kebingungan.
Jangan bersedih, karena ada al-
Qur ’an, ada do’a, ada shalat, ada
sedekah, ada perbuatan baik, dan
ada amalan yang memberikan
manfaat.
Jangan bersedih, dan jangan
pernah menyerah kepada
kesedihan dengan tidak melakukan
aktivitas. Shalatlah.. bertasbihlah..
bacalah.. menulislah.. bekerjalah..
terimalah tamu.. dan
merenunglah..

Rasa Manisnya Sebuah Iman

Dari Anas bin Malik r.a. dari Nabi saw. bahwa
beliau bersabda, “Tiga sifat yang jika dimiliki
orang akan mendapatkan manisnya iman; Orang
yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintai dari yang lain; Orang yang mencintai
seseorang semata karena Allah; Dan orang yang
tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah
menyelamatkannya seperti ia tidak suka
dilemparkan ke dalam kobaran api.” (H.R.
Bukhari-Muslim)
Hadits ini diriwayatkan oleh dua Imam besar,
Imam Bukhari dan Imam Muslim. Teks hadits
diambil dari kitab Shahih Bukhari. Selain dua
imam ini, hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam
Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad. Hadits di atas
berbunyi:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ
فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ
حَلاَوَةَ اْلإِيمَانِ
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ
يُحِبُّهُ إِلاَّ
لِلَّهِ وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ
فِي الْكُفْرِ كَمَا
يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي
النَّارِ- متفق عليه
مَنْ كُنَّ فِيهِ , yakni orang
yang memiliki tiga sifat tersebut.
وَجَدَ بِهِنَّ , yakni dengan
sebab sifat tersebut ia akan mendapatkan.
حَلاَوَةَ
اْلإِيمَانِ, yakni manis iman,
bukan manis gula atau madu, tetapi sesuatu yang
paling manis di antara yang manis. Rasa manis
yang dirasakan manusia pada dadanya, pada
hatinya. Suatu kelezatan yang tidak ada
bandingnya, ia mendapatkan rasa lega pada
hatinya, rasa ingin melakukan kebaikan, rasa suka
dan cinta kepada orang-orang baik. Rasa manis
yang hanya dapat diketahui hakikatnya oleh orang
yang telah merasakannya setelah lama tidak
mendapatkan rasa manis itu.
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا , yakni orang yang
menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari
selain keduanya. Dalam hadits tidak digunakan
ta’bir, ungkapan ثم رسوله karena
kecintaan kepada Rasulullah saw mengikut
kecintaannya kepada Allah. Manusia akan
mencintai Allah sebesar manusia itu mencintai
Allah. Ketika kecintaannya kepada Allah
bertambah, maka bertambah pula kecintaannya
kepada Rasulullah saw. Kecintaan kepada Rasul
mengikuti kadar kecintaannya kepada Allah.
Yang patut disayangkan adalah ada sebagian
orang yang kecintaannya kepada Rasulullah saw
melebihi kecintaannya kepada Allah. Orang seperti
ini berarti mencintai Rasulullah saw bersama
mencintai Allah. Jika kecintaan kepada Rasulullah
saw melebihi kecintaan kepada Allah, maka hal ini
termasuk salah satu jenis kemusyrikan, karena
menjadikan Rasulullah saw sebagai sekutu dalam
kecintaan. Orang ini akan bergetar ketika
disebutkan nama Rasulullah saw dan tidak
bergetar ketika disebut nama Allah hatinya tidak
ada respon dan tidak ada getar.
Karena itulah dalam surat Ali Imran ayat 31 Allah
menyebutkan bahwa jika kita benar-benar
mencintai Allah, maka kita harus mengikuti
Rasulullah saw. sehingga Allah akan mencintai
kita. Pusat dan sumber alasan kecintaan kita
kepada sesuatu adalah Allah, termasuk juga
kecintaan kepada Rasulullah saw.
Dengan kelemahan manusia seperti disebutkan
Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 72 bahwa
manusia adalah makhluk yang zhalim dan jahil,
terkadang manusia lupa dengan cinta yang hakiki.
Manusia hidup dalam perburuan cinta palsu,
terutama di zaman hedonisme ini. Segala
kemajuan materialis sangat meninakbobokan
manusia untuk mengenal diri dan penciptanya,
apalagi untuk memahami hakikat hidup dan
tujuannya. Itulah kondisi masyarakat di negara-
negara maju dan di sebagian di negara-negara
berkembang.
وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لاَ
يُحِبُّهُ إِلاَّ
لِلَّهِ, yakni orang yang mencintai
orang lain karena Allah. Mencintai dan membenci
karena Allah. Mencintai orang bukan karena
kekerabatan. Juga bukan karena harta dan jabatan
atau alasan duniawi semata. Mencintai orang
karena Allah. Sama halnya juga dengan
membenci seseorang semata karena Allah. Nafsu
manusia sering menghalangi kita untuk mencinta
dan membenci seseorang karena Allah. Manusia
mencintai karena ada sesuatu yang ingin ia
dapatkan dari orang tersebut.
Ada sebagian orang yang ketika mendapatkan
jasa seseorang akan membuat dia tidak dapat
mencinta dan membenci karena Allah. Segala
pemberian yang ia terima akan membuat dirinya
tidak dapat memposisikan diri apakah harus
mencinta atau membenci ketika orang yang
pernah menanamkan jasa tersebut bertentangan
dengan syariat Allah. Karena itulah seorang dai
harus memelihara izzahnya untuk tidak dengan
mudah menerima segala pemberian yang
membuat ia tidak dapat memberikan nasihat.
Kesederhanaan dan kemandirian seorang dai
menjadi tuntutan agar ia tetap dapat
menyampaikan kebenaran kepada semua orang.
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ
يَعُودَ فِي الْكُفْرِ
كَمَا يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي النَّارِ ,
yakni benci untuk kembali kepada kekafiran
setelah kembali kepada Allah sama seperti
bencinya dilemparkan ke dalam kobaran api.
Orang yang tidak ingin kembali kepada kekafiran
setelah mendapatkan hidayah Islam dan petunjuk
yang benar. Orang yang telah mendapatkan
hidayah Islam kemudian kembali kepada kekafiran
dan kemusyrikan disebut dengan murtad. Orang-
orang murtad adalah golongan yang boleh
diperangi hingga kembali kepada aqidah Islam.
Orang yang dipaksa mengatakan kalimat
kekufuran, tetapi hatinya tenang dengan
keimanan, maka orang ini tidak termasuk orang
yang murtad dari hidayah Islam. Allah berfirman,
“ Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia
beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu
disebabkan karena sesungguhnya mereka
mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat,
dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk
kepada kaum yang kafir. ” (An-Nahl: 106-107)
Sebagaimana manusia mendapatkan hidayah
secara bertahap, maka orang yang murtad juga
menjadi murtad tentunya dengan suatu tahapan
dan proses.
Jika ketiga sifat ini dimiliki oleh seorang muslim,
maka ia dapat merasakan manisnya iman. Jika
manisnya gula atau madu semua orang dapat
merasakannya dan tidak ada yang mengingkari
bahwa gula dan madu adalah manis. Tapi ketika
kita mendengar kata iman, kita tidak serta merta
mengenal bahwa rasa iman itu adalah manis,
beda dengan gula dan madu. Karena itulah tidak
semua orang yang mengaku beriman merasa
bahwa iman itu manis. Karena keimanan orang
itu bertingkat-tingkat antara satu orang dengan
orang lain, maka tidak semua orang dapat
merasakan manisnya iman.
Ketika kita tidak dapat merasakan manisnya iman
bukan berarti iman itu tidak manis, tapi kita belum
sampai pada tingkat keimanan yang membuat
kita merasakan bahwa beriman itu manis dan
menyenangkan. Senang beramal saleh. Senang
berbuat baik. Senang memberikan kegembiraan
kepada orang lain. Senang melihat orang
mendapatkan kesenangan. Senang jika
masyarakat mengamalkan Islam. Senang jika
kemaksiatan ditumpas. Wallahu a ’lam.

Tiga Langkah Untuk Menjadi Manusia Terbaik

Ada hadits pendek namun
sarat makna dikutip Imam Suyuthi dalam
bukunya Al-Jami ’ush Shaghir. Bunyinya, “Khairun
naasi anfa’uhum linnaas.” Terjemahan bebasnya:
sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling
banyak bermanfaat bagi orang lain.
Derajat hadits ini ini menurut Imam Suyuthi
tergolong hadits hasan. Syeikh Nasiruddin Al-Bani
dalam bukunya Shahihul Jami ’ush Shagir
sependapat dengan penilaian Suyuthi.
Adalah aksioma bahwa manusia itu makhluk
sosial. Tak ada yang bisa membantah. Tidak ada
satu orangpun yang bisa hidup sendiri. Semua
saling berketergantungan. Saling membutuhkan.
Karena saling membutuhkan, pola hubungan
seseorang dengan orang lain adalah untuk saling
mengambil manfaat. Ada yang memberi jasa dan
ada yang mendapat jasa. Si pemberi jasa
mendapat imbalan dan penerima jasa mendapat
manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim. Adil.
Jika ada orang yang mengambil terlalu banyak
manfaat dari orang lain dengan pengorbanan
yang amat minim, naluri kita akan mengatakan itu
tidak adil. Orang itu telah berlaku curang. Dan kita
akan mengatakan seseorang berbuat jahat ketika
mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri
dengan cara yang curang dan melanggar hak
orang lain.
Begitulah hati sanubari kita, selalu menginginkan
pola hubungan yang saling ridho dalam
mengambil manfaat dari satu sama lain. Jiwa kita
akan senang dengan orang yang mengambil
manfaat bagi dirinya dengan cara yang baik. Kita
anggap seburuk-buruk manusia orang yang
mengambil manfaat banyak dari diri kita dengan
cara yang salah. Apakah itu menipu, mencuri,
dan mengambil paksa, bahkan dengan kekerasan.
Namun yang luar biasa adalah orang lebih banyak
memberi dari mengambil manfaat dalam
berhubungan dengan orang lain. Orang yang
seperti ini kita sebut orang yang terbaik di antara
kita. Dermawan. Ikhlas. Tanpa pamrih. Tidak
punya vested interes.
Orang yang selalu menebar kebaikan dan
memberi manfaat bagi orang lain adalah sebaik-
baik manusia. Kenapa Rasulullah saw. menyebut
seperti itu? Setidaknya ada empat alasan.
Pertama, karena ia dicintai Allah swt. Rasulullah
saw. pernah bersabda yang bunyinya kurang
lebih, orang yang paling dicintai Allah adalah yang
paling bermanfaat bagi orang lain. Siapakah yang
lebih baik dari orang yang dicintai Allah?
Alasan kedua, karena ia melakukan amal yang
terbaik. Kaidah usul fiqih menyebutkan bahwa
kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih
bermanfaat ketimbang yang manfaatnya
dirasakan oleh diri sendiri. Apalagi jika
spektrumnya lebih luas lagi. Amal itu bisa
menyebabkan orang seluruh negeri merasakan
manfaatnya. Karena itu tak heran jika para
sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan
bertanya kepada Rasulullah, amal apa yang paling
afdhol untuk dikerjakan. Ketika musim kemarau
dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah berkata
membuat sumur adalah amal yang paling utama.
Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya
ibu yang sudah sepuh dan tidak ada yang
merawat, Rasulullah menyebut berbakti kepada si
ibu adalah amal yang paling utama bagi orang itu.
Ketiga, karena ia melakukan kebaikan yang sangat
besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang
lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw.
berkata, “Seandainya aku berjalan bersama
saudaraku untuk memenuhi suatu kebutuhannya,
maka itu lebih aku cintai daripada I;tikaf sebulan di
masjidku ini. ” (Thabrani). Subhanallah.
Keempat, memberi manfaat kepada orang lain
tanpa pamrih, mengundang kesaksian dan pujian
orang yang beriman. Allah swt. mengikuti
persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri
kita adalah orang yang baik, maka Allah swt.
menggolongkan kita ke dalam golongan
hambanya yang baik-baik.
Pernah suatu ketika lewat orang membawa
jenazah untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat
menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang
tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang
membawa jenazah lain untuk diantar ke
kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut
kebaikan si mayit. Rasulullah saw. membenarkan.
Seperti itu jugalah Allah swt. Karena itu di surat
At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh
Rasulullah saw. untuk memerintahkan kita, orang
beriman, untuk beramal sebaik-baiknya amal agar
Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-
amal kita. Di hari akhir, Rasul dan orang-orang
beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah
bahwa kita seperti yang mereka saksikan di dunia.
Untuk bisa menjadi orang yang banyak memberi
manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan
beberapa hal dalam diri kita. Pertama, tingkatkan
derajat keimanan kita kepada Allah swt. Sebab,
amal tanpa pamrih adalah amal yang hanya
mengharap ridho kepada Allah. Kita tidak
meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah
swt. saja balasannya. Ketika iman kita tipis
terkikis, tak mungkin kita akan bisa beramal ikhlas
Lillahi Ta ’ala.
Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt.,
segala amal untuk memberi manfaat bagi orang
lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah
bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun
kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan
untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak
membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah
saw. Bilal mengimani janji Rasulullah saw. itu. Ia
tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang
dimiliki dalam keadaan sesulit apapun.
Kedua, untuk bisa memberi manfaat yang banyak
kepada orang lain tanpa pamrih, kita harus
mengikis habis sifat egois dan rasa serakah
terhadap materi dari diri kita. Allah swt. memberi
contoh kaum Anshor. Lihat surat Al-Hasyr ayat 9.
Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan
semua yang mereka butuhkan untuk saudara
mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum
Muhajirin telah mapan secara financial, tidak
terbetik di hati mereka untuk meminta kembali
apa yang pernah mereka beri.
Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika
bahwa sisa harta yang ada pada diri kita adalah
yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan
yang ada dalam genggaman kita. Logika ini
diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada kita. Suatu
ketika Rasulullah saw. menyembelih kambing.
Beliau memerintahkan seoran sahabat untuk
menyedekahkan daging kambing itu. Setelah
dibagi-bagi, Rasulullah saw. bertanya, berapa
yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya
tinggal sepotong paha. Rasulullah saw.
mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang tersisa
bagi kita adalah apa yang telah dibagikan.
Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah
dibagikan. Itulah milik kita yang hakiki karena kekal
menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara,
daging paha yang belum dibagikan hanya akan
menjadi sampah jika busuk tidak sempat kita
manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita
makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak
memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak
akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan
habis lapuk karena waktu, hilang karena kematian
kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita.
Maka tak heran jika dalam sejarah kita melihat
bahwa para sahabat dan salafussaleh enteng saja
menginfakkan uang yang mereka miliki. Sampai
sampai tidak terpikirkan untuk menyisakan
barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.
Keempat, kita akan mudah memberi manfaat
tanpa pamrih kepada orang lain jika dibenak kita
ada pemahaman bahwa sebagaimana kita
memperlakukan seperti itu jugalah kita akan
diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka
seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika
bertamu. Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap
seperti itu jugalah yang kita dari tetangga kita.
Kelima, untuk bisa memberi, tentu Anda harus
memiliki sesuatu untuk diberi. Kumpulkan bekal
apapun bentuknya, apakah itu finansial, pikiran,
tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air,
kita bisa memberi minum orang yang harus. Jika
punya ilmu, kita bisa mengajarkan orang yang
tidak tahu. Ketika kita sehat, kita bisa membantu
beban seorang nenek yang menjinjing tak besar.
Luangkan waktu untuk bersosialisasi, dengan
begitu kita bisa hadir untuk orang-orang di sekitar
kita.
Mudah-muhan yang sedikit ini bisa
menginspirasi.

Tak Senilai Sayap Nyamuk

“Hai manusia, sesungguhnya
janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali
kehidupan dunia memperdayakanmu, dan
jangan (pula) penipu (setan) memperdayakanmu
dalam (mentaati) Allah. ” (QS. Luqman: 33)
Dunia memang indah. Warna-warni alamnya
teramat sulit dilukiskan dengan kata-kata. Hiasan-
hiasannya bagaikan magnet yang mampu
menarik siapa pun di sekelilingnya. Pesonanya
bisa memukau mata manusia mana pun yang
menatapnya dengan penuh harap. Mereka pun
berkhayal, andai dunia tak pernah berpisah.
Kenikmatan yang berlimpah kadang bisa lebih
berbahaya dari musibah terburuk apa pun.
Seorang hamba Allah mungkin bisa bertahan
dengan siksaan dan penjara. Tapi, belum tentu ia
mulus dengan cobaan banyaknya harta.
Berbahagialah hamba Allah yang kaya dan
senantiasa bersyukur.
Jangan pernah bergeser dari niat yang
ikhlas
Ikhlas adalah dasar diterima atau tidaknya sebuah
amal. Apalah arti sebuah prestasi jika Allah swt.
tidak menganggapnya sebagai sebuah bakti.
Mungkin, manusia bisa tertipu dengan hiasan-
hiasan amal yang ditampilkan. Tapi, Allah Maha
Tahu apa yang tersembunyi di balik hati seorang
hamba. Sekecil apa pun.
Keanggunan hiasan dunia kadang membuat hati
manusia tertipu, terpedaya. Buat siapa pun,
termasuk hamba Allah yang giat beramal.
Bahkan, seorang sahabat Rasul sekali pun. Kisah
kurang amanahnya pasukan pemanah pimpinan
Abu Ubaidah pada Perang Uhud memberikan
pelajaran tersendiri. Mereka siap menempuh
bahaya seganas apa pun. Tapi, tak sesiap itu
ketika menatap lambaian ghanimah. Kenikmatan
dunia memperdaya mereka, merontokkan
komitmen mereka terhadap perintah Rasul: “Apa
pun yang terjadi, kalian harus tetap di bukit ini!”
Tidak heran, jika Allah swt. mengajarkan Thalut
untuk menguji kesetiaan pasukannya dengan
sungai. Buat kondisi jazirah Arab yang panas,
sungai merupakan perwujudan standar dari
bentuk kenikmatan dunia: menggiurkan di saat
dahaga, menyejukkan di saat panas terik
membakar. Kalau pada takaran standar saja
mereka rontok, apatah lagi dengan kenikmatan
yang lebih besar. Dan peperangan yang akan
mereka hadapi bukan sekadar menumbangkan
Jalut, tapi mengendalikan diri dari hamparan
kenikmatan yang dimiliki Jalut. Mampukah?
Amru bin Ash r.a. di saat menghadapi akhir
hayatnya pun menyadari. Betapa ia yang pernah
berjuang bersama Rasulullah saw., menghunus
pedang untuk membantai musuh-musuh Islam
dengan pengorbanan yang tidak kecil, pun
akhirnya bisa terpedaya dengan nikmatnya
kekuasaan. Sebuah bagian dari kenikmatan dunia
yang belum seberapa.
Tidak ada yang mampu mengawasi jati diri
seorang hamba kecuali Allah dan dirinya sendiri.
Dirinyalah yang tahu, apakah niatnya masih lurus.
Atau, sudah bergeser. Dan kelak, ia akan menuai
amal yang pernah ia tanam. Bagus atau buruk.
Biasakan untuk senantiasa memberi, bukan
sebaliknya
Manusia memang tak bisa lepas dari tarikan
dunia. Karena, sebagian dirinya berasal dari unsur
tanah yang berarti bagian dari wujud dunia. Ia
butuh makan, minum, tempat tinggal, pasangan,
keluarga, status sosial, dan sebagainya. Tinggal,
bagaimana ia mengelola keakrabannya dengan
dunia.
Orang yang akrab dengan sesuatu biasanya akan
cinta. Dan cinta menjadikan seseorang sulit
dipisahkan dengan yang dicintai. Karena itu,
sebelum seseorang terlanjur mencintai dunia, ia
harus melatih diri untuk secara rutin berpisah.
Biar kecil, tapi rutin.
Di situlah mungkin, di antara hikmah Allah swt.
mewajibkan infak buat orang-orang yang
beriman. Tak ada keuntungan sedikit pun buat
Allah. Karena, tak satu pun benda di alam ini
melainkan dari-Nya. Semua manfaat itu akan
kembali kepada manusia itu sendiri.
Sekilas, memberi terasa merugikan. Karena, ada
bagian kepemilikannya yang dikorbankan buat
orang lain. Tapi, justru di situlah seorang yang
mudah memberi akan merasakan manfaat. Selain
menyeimbangkan keakrabannya dengan dunia,
memberi adalah bentuk investasi lain buat
kepemilikan yang lebih berharga dari materi yang
ia korbankan. Selain balasan dari Allah, ia akan
mendapatkan nilai sosial lebih. Harga sosialnya
akan semakin mahal, tanpa ia sadari.
Allah swt. berfirman, “Ada pun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah) dan
bertakwa, dan membenarkan adanya pahala
yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah. ” (QS. Al-
Lail: 5-7)
Turunan dari memberi begitu banyak. Rasulullah
saw. sering menganjurkan kita untuk bersedekah,
memberi hadiah, menolong orang yang kesulitan
dana, mengurus anak yatim, dan lain-lain. Karena
itu, bersikaplah untuk senantiasa siap memberi
buat orang lain. Bukan, berharap-harap apa yang
mesti orang lain berikan kepada kita.
Jadilah seperti seorang penjual, bukan
pembeli
Perbedaan mendasar antara seorang penjual
dengan pembeli adalah sikap mental. Seorang
penjual punya sikap pelayanan. Dan pembeli
punya sikap memilih-milih, tidak merasa perlu.
Apa pun yang dituntut pembeli, penjual akan
menyesuaikan diri. Bahkan, ia harus siap dicela,
dimarahi pembeli, tanpa memperlihatkan reaksi
ketidaksukaan. Apalagi perlawanan. Dan,
manajemen moderen membenarkan itu.
Begitu pun dalam beramal. Kehidupan seorang
hamba Allah di dunia ini tak lain adalah seorang
penjual. Dan Allahlah Si Pembeli. Pembeli bisa
menentukan kriteria apa saja atas barang yang
dibeli. Dan penjual wajib memenuhi, jika
dagangannya mau terjual.
Allah swt. berfirman dalam surah At-Taubah ayat
111, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin, diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi)
janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil
dan Alquran. Dan siapakah yang lebih menepati
janjinya (selain) daripada Allah? Maka,
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. ”
Tak ada satu penjual pun yang santai-santai saja
menyambut tawaran harga tinggi dari seorang
pembeli. Dan harga apalagi yang lebih tinggi dari
surga yang penuh kenikmatan. Dan satu lagi. Tak
ada penjual yang sedemikian cintanya dengan
dagangannya sehingga ia tak akan pernah
menjual. Teramat bodoh seorang penjual yang
bersikap, “Biarlah saya tak untung, yang penting
barang dagangan yang saya cintai tak terjual!”
Saat itu, ia bukan lagi seorang penjual. Tapi,
penikmat.
Seorang hamba Allah yang cerdas tak akan
terpedaya dengan dunia. Seindah apa pun, ia
tampil. Segemerlap apa pun dunia bersolek.
Karena dalam pandangan Allah, dunia tak senilai
saya nyamuk. Rasulullah saw. bersabda,
“ Andaikan dunia itu senilai dengan sayap nyamuk
di sisi Allah, maka Allah tidak akan memberi
minum kepada orang kafir walaupun seteguk air
dari dunia. ” (HR. Tirmidzi)

Cara Memperlakukan Istri

“Hai orang-orang beriman,
tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan
cara paksa, dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah
dengan mereka secara patut. Kemudian jika
kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah,
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak. ” (An-Nisa: 19)
Menikah adalah fitrah manusia. Rasulullah saw.
menyebut menikah sebagai sunahnya. Bahkan,
Nabi berkata, siapa yang membenci sunahnya,
tidak termasuk dalam golongannya.
Setiap kita, pasangan muslim dan muslimah yang
melakukan pernikahan, paham betul bahwa
tujuan menikah yang utama adalah untuk
mendapatkan ridha Allah. Setelah itu untuk
mewujudkan keluarga yang sakinah mawahdah
wa rahmah dan meneruskan keturunan dengan
memperoleh anak-anak yang saleh dan salehah.
Kita juga menyadari bahwa lembaga keluarga
yang kita bentuk adalah wadah untuk melaku
proses perubahan, baik untuk diri kita sendiri,
keluarga, dan masyarakat.
Sepasang suami-istri yang dipersatukan oleh
ikatan pernikahan juga sadar bahwa keluarga
adalah organisasi kecil yang memiliki aturan
dalam pengelolaannya. Karena itu, sepasang
suami-istri harus bisa memahami hak dan
kewajiban dirinya atas pasangannya dan anggota
keluarga lainnya.
Sepasang suami-istri dalam berinteraksi di rumah
tangga sepatutnya melandasi hubungan mereka
dengan semangat mencari keseimbangan,
menegakkan keadilan, menebar kasih sayang,
dan mendahulukan menunaikan kewajiban
daripada menuntut hak.
Kewajiban seorang istri terhadap suaminya
adalah pertama, mentaati suami. Namun, dalam
mentaati suami juga ada batasannya. Batasan itu
adalah seperti yang disabdakan Rasulullah saw.,
“ Tidak ada ketaatan terhadap makhluk untuk
bermaksiat kepada Allah, Sang Pencipta.”
Kewajiban seorang istri terhadap suami yang
kedua adalah menjaga kehormatan dirinya,
suami, dan harta keluarga. Ketiga, mengatur
rumah tangga. Keempat, mendidik anak-anak.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, Rasulullah saw. bersabda, “Wanita adalah
pengasuh dan pendidik di rumah suami, dan
bertanggung jawab atas asuhannya. ” Keluarga
adalah prioritas seorang istri, meski tidak ada
larangan baginya untuk melakukan peran
sosialnya di masyarakat seperti berdakwah,
misalnya.
Dan kewajiban lain seorang istri kepada suaminya
adalah berbuat baik kepada keluarga suami.
Sedangkan kewajiban seorang suami kepada
istrinya adalah pertama, membayar mahar
dengan sempurna. Kedua, memberi nafkah.
Rasulullah saw. bersabda, “Takutlah kepada Allah
dalam memperlakukan wanita, karena kamu
mengambil mereka dengan amanat Allah dan
kamu halalkan kemaluan mereka dengan kalimat
Allah; dan kewajiban kamu adalah memberi
nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik. ”
Ketiga, suami wajib memberi perlindungan
kepada istrinya. Keempat, melindungi istri dari
siksa api neraka. Ini perintah Allah swt., “Hai
orang-orang yang beriman, selamatkan dirimu
dan keluargamu dari api neraka. ”
Kewajiban keempat, mempergauli istri dengan
baik. Allah berfirman, “Dan pergaulilah mereka
dengan cara yang baik.” (An-Nisa: 19)
Rasulullah saw. bersabda, “Orang mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling
baik akhlaknya; dan sebaik-baik kalian adalah yang
paling baik terhadap istrinya. ” (Tirmidzi)
Muasyarah bil ma’ruf
Di ayat 19 surat An-Nisa di atas, Allah swt.
menggunakan redaksi “muasyarah bil ma’ruf”.
Makna kata “muasyarah” adalah bercampur dan
bersahabat. Karena mendapat tambahan frase “bil
ma’ruf”, maknanya semakin dalam. Ibnu Katsir
dalam tafsirnya menulis makna “muasyarah bil
ma’ruf” dengan “perbaikilah ucapan, perbuatan,
penampilan sesuai dengan kemampuanmu
sebagaimana kamu menginginkan dari mereka
(pasanganmu), maka lakukanlah untuk mereka.”
Sedangkan Imam Qurthubi dalam tafsirnya
menerangkan makna “muasyarah bil ma’ruf”
dengan kalimat, “Pergaulilah istri kalian
sebagaimana perintah Allah dengan cara yang
baik, yaitu dengan memenuhi hak-haknya berupa
mahar dan nafkah, tidak bermuka masam tanpa
sebab, baik dalam ucapan (tidak kasar) maupun
tidak cenderung dengan istri-istri yang lain. ”
Adapun Tafsir Al-Manar menerangkan makna
”muasyarah bil ma’ruf” dengan kalimat, “Wajib
atas orang beriman berbuat baik terhadap istri
mereka, menggauli dengan cara yang baik,
memberi mahar dan tidak menyakiti baik ucapan
maupun perbuatan, dan tidak bermuka masam
dalam setiap perjumpaan, karena semua itu
bertentangan dalam pergaulan yang baik dalam
keluarga.”
Di antara bentuk perlakuan yang baik adalah
melapangkan nafkah, meminta pendapat dalam
urusan rumah tangga, menutup aib istri,
menjaga penampilan, dan membantu tugas-
tugas istri di rumah.
Salah satu hikmah Allah swt. mewajibkan
seorang suami ber-muasyarah bil ma ’ruf kepada
istrinya adalah agar pasangan suami-istri itu
mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan dalam
hidup. Karena itu, para ulama menetapkan
hukum melakukan “muasyarah bil ma’ruf”
sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh para
suami agar mendapatkan kebaikan dalam rumah
tangga.
Karena itu, para suami yang mendambakan
kebaikan dalam rumah tangganya perlu
mendalami tabiat perempuan secara umum dan
tabiat istrinya secara khusus. Jika menemukan
ada sesuatu yang dibenci dalam diri istri, demi
kebaikan keluarga temukan lebih banyak
kebaikan-kebaikannya. Suami juga harus tahu apa
perannya dalam rumah tangga. Dan, jangan
pernah mencelakan istri dengan kekerasan, baik
secara fisik maupun mental. Ketika seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., ” Apa
hak istri terhadap suaminya?” Rasulullah saw.
menjawab, “Memberi makan apa yang kamu
makan , memberi pakaian apa yang kamu pakai,
tidak menampar mukanya, tidak membencinya
serta tidak boleh memboikotnya. ”
Bagaimana jika timbul perselisihan? Cekcok antara
suami-istri adalah hal yang manusiawi. Jika
Rasulullah saw. memberi toleransi waktu tiga hari
bagi dua orang muslim saling mendiamkan satu
sama lain, alangkah baiknya jika suami-istri saling
mendiamkan di pagi hari, di malam harinya
sudah bisa saling senyum lagi. Kenapa?
Sebab, pasangan suami-istri muslim dan
muslimah paham betul bahwa perselisihan
mereka adalah gangguan Iblis. Rasulullah saw.
pernah menerangkan kepada para sahabat,
“ Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya
di atas air, kemudian dia mengirim pasukannya,
maka yang paling dekat kepadanya, dialah yang
paling besar fitnahnya. Lalu datanglah salah
seorang dari mereka seraya berkata: aku telah
melakukan ini dan itu, Iblis menjawab, kamu
belum melakukan apa-apa. Kemudian datang lagi
yang lain melapor, aku mendatangi seorang lelaki
dan tidak akan membiarkan dia, hingga aku
menceraikan antara dia dan istrinya, lalu Iblis
mendekat seraya berkata, “Sangat bagus
kerjamu” (Muslim)
Begitulah, Iblis menjadikan menceraikan
pasangan suami-istri sebagai prestasi tertinggi
tentaranya. Karena itu, Islam mencegah
perbuatan yang bisa menyebabkan perselisihan
suami-istri. Karena itu, jika cekcok dengan
pasangan hidup Anda, segera selesaikan
masalahnya. Upayakan selesaikan masalah
rumah tangga sendiri. Jangan menghadirkan
pihak ketiga. Jika belum selesai juga, hadirkan
seseorang yang bisa menjadi hakim yang bisa
diterima kedua belah pihak.
Seiring dengan panjangnya perjalanan waktu dan
lika-liku kehidupan, kadang ikatan pernikahan
mengkendur. Karena itu, perkuat lagi ikatan itu
dengan mengingat-ingat kembali tujuan
pernikahan. Bangun komunikasi yang positif.
Komunikasi adalah kunci keharmonisan. Karena
itu, pahami betul cara berkomunikasi pasangan
Anda. Dan, hidupkan syuro dalam keluarga.
Bahkan untuk urusan kecil sekalipun perlu
dibicarakan bersama. Insya Allah, Allah swt. akan
memberi kebaikan yang banyak dalam keluarga
Anda. Amin.

Doa Suami istri

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ الله عَنْهُ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: “لَوْ أَنَّ
أَحَدَهُمْ إِذَا
أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ
أَهْلَهُ قَالَ
بِاسْمِ اللَّهِ
اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا
الشَّيْطَانَ
وَجَنِّبْ
الشَّيْطَانَ مَا
رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ
إِنْ يُقَدَّرْ
بَيْنَهُمَا وَلَدٌ
فِي ذَلِكَ لَمْ
يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ
أَبَدًا”
dakwatuna.com – Ibnu Abbas ra. berkata,
Rasulullah saw bersabda, “Kalau salah seorang
hendak mendatangi istrinya hendaknya ia berdoa,
‘ Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkan setan dari
kami dan jahkan syetan dari apa yang Engkau
anugerahkan kepada kami. ’ Karena jika ditakdirkan
antara keduanya seorang anak tidak akan
dicelakakan oleh setan selama-lamanya. ”
Hadits ini dikeluarkan At-Thayalisi (1/302 nomor
2705), Ahmad (1/286 nomor 2597), Bukhari
(3/1196 nomor 3109), Muslim (2/1058), Abu Daud
(2/239 nomor 3109), At-Tirmidzi (3/401 nomor
1092). At-Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan
shahih. Juga dikeluarkan Ibnu Majah (1/618
nomor 1919) da Ibnu Hibban (3/263 nomor 983)
Al-Allamah Al-Mubarakfuri di kitabnya Tuhfazhul
Ahwadzi bisyarhi Jami ’ At-Tirmidzi mengatakan,
“Yang dimaksud dengan ‘mendatangi
keluarganya’ adalah menggauli istri atau
budaknya. Maksudnya, jika seseorang hendak
menggauli istrinya, jadi doa itu diucapkan
sebelum melakukannya. ‘Apa yang Engaku
anugerahkan kepada kami’ artinya anak dan ‘Tidak
dicelakakan setan selama-lamanya’ artinya setan
tidak bias menguasainya hingga anak itu kelak
tidak bias melakukan amal shalih.
Al-Hafizh Ibnu Hajar di Fathul Bari mengatakan,
para ulama berbeda pendapat tentang jenis celaka
yang diakibatban setan kepada anak manusia
setelah kedua suami istri itu sepakat untuk tidak
hamil. Kesepakatan itu dipicu oleh sikap mereka
terhadap hadits shahih
إِنَّ كُلَّ بَنِي
آدَمَ يَطْعَنُ
الشَّيْطَانُ فِي
بَطْنِهِ حِينَ
يُولَدُ, إِلَّا مَنْ
اِسْتَثْنَى
“Setiap anak Adam ditikam oleh setan di perutnya
saat dilahirkan selain yang dikecualikan.”
Penikaman seperti ini adalah salah satu jenis
celaka yang ditimbulkan setan. Ada juga yang
berpendapat bahwa setan akan menguasainya
agar namanya tidak diberkahi. Ada juga yang
mengatakan tidak dibinasakan. Juga ada yang
mengatakan tidak dicelakakan urusan agamanya.
Ad-Daudi berkata, yang dimaksud dengan celaka
di sini adalah tidak difitnah oleh setan dalam
agamanya hingga ia menjadi kafir. Ini tidak berarti
anak Adam terbebas dari kemaksiatan.
Hadits di atas menegaskan bahwa hubungan
suami istri tidak semata-mata persoalan
melampiaskan syahwat, akan tetapi lebih mulia
lagi terkait dengan tujuan sebuah pernikahan.
Ibrah:
1. Agar seseorang ingat akan nikmat yang Allah
anugerahkan kepadanya. Yang berupa pasangan
hidup yang karena itu seseorang mendapatkan
ketentraman dan kedamaian.
2. Agar seseorang menyadari tujuan utama
pernikahannya, yaitu demi keberlangsungan
generasi dan memperbanyak hamba-hamba
yang akan menyembah Allah.
3. Agar seseorang senantiasa ingat akan musuh
utama dalam kehidupan ini, yaitu setan yang
senantiasa menggoda dan menjerumuskan anak
cucu Adam. Bahkan sejak berada dalam
kandungan. Lalu selalu berlindung kepada Allah
dari godaan setan.
4. Agar seseorang senantiasa bertawakkal kepada
Allah setelah berusaha.
5. Agar selalu berusaha mengharapkan ridha
Allah dalam setiap perbuatan yang dilakukan, baik
ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah.
6. Anak adalah karunia Allah yang diamanahkan
kepada orang tuanya dan hendaknya ditunaikan
dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kehendak
Dzat yang memberi amanah itu. Wallahu A ’lam.

Profil

Citayam (Ds: Rawa Panjang), Jawa Barat, Indonesia