Sabtu, 29 Mei 2010

Cara Memperlakukan Istri

“Hai orang-orang beriman,
tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan
cara paksa, dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah
dengan mereka secara patut. Kemudian jika
kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah,
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak. ” (An-Nisa: 19)
Menikah adalah fitrah manusia. Rasulullah saw.
menyebut menikah sebagai sunahnya. Bahkan,
Nabi berkata, siapa yang membenci sunahnya,
tidak termasuk dalam golongannya.
Setiap kita, pasangan muslim dan muslimah yang
melakukan pernikahan, paham betul bahwa
tujuan menikah yang utama adalah untuk
mendapatkan ridha Allah. Setelah itu untuk
mewujudkan keluarga yang sakinah mawahdah
wa rahmah dan meneruskan keturunan dengan
memperoleh anak-anak yang saleh dan salehah.
Kita juga menyadari bahwa lembaga keluarga
yang kita bentuk adalah wadah untuk melaku
proses perubahan, baik untuk diri kita sendiri,
keluarga, dan masyarakat.
Sepasang suami-istri yang dipersatukan oleh
ikatan pernikahan juga sadar bahwa keluarga
adalah organisasi kecil yang memiliki aturan
dalam pengelolaannya. Karena itu, sepasang
suami-istri harus bisa memahami hak dan
kewajiban dirinya atas pasangannya dan anggota
keluarga lainnya.
Sepasang suami-istri dalam berinteraksi di rumah
tangga sepatutnya melandasi hubungan mereka
dengan semangat mencari keseimbangan,
menegakkan keadilan, menebar kasih sayang,
dan mendahulukan menunaikan kewajiban
daripada menuntut hak.
Kewajiban seorang istri terhadap suaminya
adalah pertama, mentaati suami. Namun, dalam
mentaati suami juga ada batasannya. Batasan itu
adalah seperti yang disabdakan Rasulullah saw.,
“ Tidak ada ketaatan terhadap makhluk untuk
bermaksiat kepada Allah, Sang Pencipta.”
Kewajiban seorang istri terhadap suami yang
kedua adalah menjaga kehormatan dirinya,
suami, dan harta keluarga. Ketiga, mengatur
rumah tangga. Keempat, mendidik anak-anak.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, Rasulullah saw. bersabda, “Wanita adalah
pengasuh dan pendidik di rumah suami, dan
bertanggung jawab atas asuhannya. ” Keluarga
adalah prioritas seorang istri, meski tidak ada
larangan baginya untuk melakukan peran
sosialnya di masyarakat seperti berdakwah,
misalnya.
Dan kewajiban lain seorang istri kepada suaminya
adalah berbuat baik kepada keluarga suami.
Sedangkan kewajiban seorang suami kepada
istrinya adalah pertama, membayar mahar
dengan sempurna. Kedua, memberi nafkah.
Rasulullah saw. bersabda, “Takutlah kepada Allah
dalam memperlakukan wanita, karena kamu
mengambil mereka dengan amanat Allah dan
kamu halalkan kemaluan mereka dengan kalimat
Allah; dan kewajiban kamu adalah memberi
nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik. ”
Ketiga, suami wajib memberi perlindungan
kepada istrinya. Keempat, melindungi istri dari
siksa api neraka. Ini perintah Allah swt., “Hai
orang-orang yang beriman, selamatkan dirimu
dan keluargamu dari api neraka. ”
Kewajiban keempat, mempergauli istri dengan
baik. Allah berfirman, “Dan pergaulilah mereka
dengan cara yang baik.” (An-Nisa: 19)
Rasulullah saw. bersabda, “Orang mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling
baik akhlaknya; dan sebaik-baik kalian adalah yang
paling baik terhadap istrinya. ” (Tirmidzi)
Muasyarah bil ma’ruf
Di ayat 19 surat An-Nisa di atas, Allah swt.
menggunakan redaksi “muasyarah bil ma’ruf”.
Makna kata “muasyarah” adalah bercampur dan
bersahabat. Karena mendapat tambahan frase “bil
ma’ruf”, maknanya semakin dalam. Ibnu Katsir
dalam tafsirnya menulis makna “muasyarah bil
ma’ruf” dengan “perbaikilah ucapan, perbuatan,
penampilan sesuai dengan kemampuanmu
sebagaimana kamu menginginkan dari mereka
(pasanganmu), maka lakukanlah untuk mereka.”
Sedangkan Imam Qurthubi dalam tafsirnya
menerangkan makna “muasyarah bil ma’ruf”
dengan kalimat, “Pergaulilah istri kalian
sebagaimana perintah Allah dengan cara yang
baik, yaitu dengan memenuhi hak-haknya berupa
mahar dan nafkah, tidak bermuka masam tanpa
sebab, baik dalam ucapan (tidak kasar) maupun
tidak cenderung dengan istri-istri yang lain. ”
Adapun Tafsir Al-Manar menerangkan makna
”muasyarah bil ma’ruf” dengan kalimat, “Wajib
atas orang beriman berbuat baik terhadap istri
mereka, menggauli dengan cara yang baik,
memberi mahar dan tidak menyakiti baik ucapan
maupun perbuatan, dan tidak bermuka masam
dalam setiap perjumpaan, karena semua itu
bertentangan dalam pergaulan yang baik dalam
keluarga.”
Di antara bentuk perlakuan yang baik adalah
melapangkan nafkah, meminta pendapat dalam
urusan rumah tangga, menutup aib istri,
menjaga penampilan, dan membantu tugas-
tugas istri di rumah.
Salah satu hikmah Allah swt. mewajibkan
seorang suami ber-muasyarah bil ma ’ruf kepada
istrinya adalah agar pasangan suami-istri itu
mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan dalam
hidup. Karena itu, para ulama menetapkan
hukum melakukan “muasyarah bil ma’ruf”
sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh para
suami agar mendapatkan kebaikan dalam rumah
tangga.
Karena itu, para suami yang mendambakan
kebaikan dalam rumah tangganya perlu
mendalami tabiat perempuan secara umum dan
tabiat istrinya secara khusus. Jika menemukan
ada sesuatu yang dibenci dalam diri istri, demi
kebaikan keluarga temukan lebih banyak
kebaikan-kebaikannya. Suami juga harus tahu apa
perannya dalam rumah tangga. Dan, jangan
pernah mencelakan istri dengan kekerasan, baik
secara fisik maupun mental. Ketika seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., ” Apa
hak istri terhadap suaminya?” Rasulullah saw.
menjawab, “Memberi makan apa yang kamu
makan , memberi pakaian apa yang kamu pakai,
tidak menampar mukanya, tidak membencinya
serta tidak boleh memboikotnya. ”
Bagaimana jika timbul perselisihan? Cekcok antara
suami-istri adalah hal yang manusiawi. Jika
Rasulullah saw. memberi toleransi waktu tiga hari
bagi dua orang muslim saling mendiamkan satu
sama lain, alangkah baiknya jika suami-istri saling
mendiamkan di pagi hari, di malam harinya
sudah bisa saling senyum lagi. Kenapa?
Sebab, pasangan suami-istri muslim dan
muslimah paham betul bahwa perselisihan
mereka adalah gangguan Iblis. Rasulullah saw.
pernah menerangkan kepada para sahabat,
“ Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya
di atas air, kemudian dia mengirim pasukannya,
maka yang paling dekat kepadanya, dialah yang
paling besar fitnahnya. Lalu datanglah salah
seorang dari mereka seraya berkata: aku telah
melakukan ini dan itu, Iblis menjawab, kamu
belum melakukan apa-apa. Kemudian datang lagi
yang lain melapor, aku mendatangi seorang lelaki
dan tidak akan membiarkan dia, hingga aku
menceraikan antara dia dan istrinya, lalu Iblis
mendekat seraya berkata, “Sangat bagus
kerjamu” (Muslim)
Begitulah, Iblis menjadikan menceraikan
pasangan suami-istri sebagai prestasi tertinggi
tentaranya. Karena itu, Islam mencegah
perbuatan yang bisa menyebabkan perselisihan
suami-istri. Karena itu, jika cekcok dengan
pasangan hidup Anda, segera selesaikan
masalahnya. Upayakan selesaikan masalah
rumah tangga sendiri. Jangan menghadirkan
pihak ketiga. Jika belum selesai juga, hadirkan
seseorang yang bisa menjadi hakim yang bisa
diterima kedua belah pihak.
Seiring dengan panjangnya perjalanan waktu dan
lika-liku kehidupan, kadang ikatan pernikahan
mengkendur. Karena itu, perkuat lagi ikatan itu
dengan mengingat-ingat kembali tujuan
pernikahan. Bangun komunikasi yang positif.
Komunikasi adalah kunci keharmonisan. Karena
itu, pahami betul cara berkomunikasi pasangan
Anda. Dan, hidupkan syuro dalam keluarga.
Bahkan untuk urusan kecil sekalipun perlu
dibicarakan bersama. Insya Allah, Allah swt. akan
memberi kebaikan yang banyak dalam keluarga
Anda. Amin.

Profil

Citayam (Ds: Rawa Panjang), Jawa Barat, Indonesia