Sabtu, 29 Mei 2010

Tiga Langkah Untuk Menjadi Manusia Terbaik

Ada hadits pendek namun
sarat makna dikutip Imam Suyuthi dalam
bukunya Al-Jami ’ush Shaghir. Bunyinya, “Khairun
naasi anfa’uhum linnaas.” Terjemahan bebasnya:
sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling
banyak bermanfaat bagi orang lain.
Derajat hadits ini ini menurut Imam Suyuthi
tergolong hadits hasan. Syeikh Nasiruddin Al-Bani
dalam bukunya Shahihul Jami ’ush Shagir
sependapat dengan penilaian Suyuthi.
Adalah aksioma bahwa manusia itu makhluk
sosial. Tak ada yang bisa membantah. Tidak ada
satu orangpun yang bisa hidup sendiri. Semua
saling berketergantungan. Saling membutuhkan.
Karena saling membutuhkan, pola hubungan
seseorang dengan orang lain adalah untuk saling
mengambil manfaat. Ada yang memberi jasa dan
ada yang mendapat jasa. Si pemberi jasa
mendapat imbalan dan penerima jasa mendapat
manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim. Adil.
Jika ada orang yang mengambil terlalu banyak
manfaat dari orang lain dengan pengorbanan
yang amat minim, naluri kita akan mengatakan itu
tidak adil. Orang itu telah berlaku curang. Dan kita
akan mengatakan seseorang berbuat jahat ketika
mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri
dengan cara yang curang dan melanggar hak
orang lain.
Begitulah hati sanubari kita, selalu menginginkan
pola hubungan yang saling ridho dalam
mengambil manfaat dari satu sama lain. Jiwa kita
akan senang dengan orang yang mengambil
manfaat bagi dirinya dengan cara yang baik. Kita
anggap seburuk-buruk manusia orang yang
mengambil manfaat banyak dari diri kita dengan
cara yang salah. Apakah itu menipu, mencuri,
dan mengambil paksa, bahkan dengan kekerasan.
Namun yang luar biasa adalah orang lebih banyak
memberi dari mengambil manfaat dalam
berhubungan dengan orang lain. Orang yang
seperti ini kita sebut orang yang terbaik di antara
kita. Dermawan. Ikhlas. Tanpa pamrih. Tidak
punya vested interes.
Orang yang selalu menebar kebaikan dan
memberi manfaat bagi orang lain adalah sebaik-
baik manusia. Kenapa Rasulullah saw. menyebut
seperti itu? Setidaknya ada empat alasan.
Pertama, karena ia dicintai Allah swt. Rasulullah
saw. pernah bersabda yang bunyinya kurang
lebih, orang yang paling dicintai Allah adalah yang
paling bermanfaat bagi orang lain. Siapakah yang
lebih baik dari orang yang dicintai Allah?
Alasan kedua, karena ia melakukan amal yang
terbaik. Kaidah usul fiqih menyebutkan bahwa
kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih
bermanfaat ketimbang yang manfaatnya
dirasakan oleh diri sendiri. Apalagi jika
spektrumnya lebih luas lagi. Amal itu bisa
menyebabkan orang seluruh negeri merasakan
manfaatnya. Karena itu tak heran jika para
sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan
bertanya kepada Rasulullah, amal apa yang paling
afdhol untuk dikerjakan. Ketika musim kemarau
dan masyarakat kesulitan air, Rasulullah berkata
membuat sumur adalah amal yang paling utama.
Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya
ibu yang sudah sepuh dan tidak ada yang
merawat, Rasulullah menyebut berbakti kepada si
ibu adalah amal yang paling utama bagi orang itu.
Ketiga, karena ia melakukan kebaikan yang sangat
besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang
lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw.
berkata, “Seandainya aku berjalan bersama
saudaraku untuk memenuhi suatu kebutuhannya,
maka itu lebih aku cintai daripada I;tikaf sebulan di
masjidku ini. ” (Thabrani). Subhanallah.
Keempat, memberi manfaat kepada orang lain
tanpa pamrih, mengundang kesaksian dan pujian
orang yang beriman. Allah swt. mengikuti
persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri
kita adalah orang yang baik, maka Allah swt.
menggolongkan kita ke dalam golongan
hambanya yang baik-baik.
Pernah suatu ketika lewat orang membawa
jenazah untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat
menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang
tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang
membawa jenazah lain untuk diantar ke
kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut
kebaikan si mayit. Rasulullah saw. membenarkan.
Seperti itu jugalah Allah swt. Karena itu di surat
At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh
Rasulullah saw. untuk memerintahkan kita, orang
beriman, untuk beramal sebaik-baiknya amal agar
Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-
amal kita. Di hari akhir, Rasul dan orang-orang
beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah
bahwa kita seperti yang mereka saksikan di dunia.
Untuk bisa menjadi orang yang banyak memberi
manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan
beberapa hal dalam diri kita. Pertama, tingkatkan
derajat keimanan kita kepada Allah swt. Sebab,
amal tanpa pamrih adalah amal yang hanya
mengharap ridho kepada Allah. Kita tidak
meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah
swt. saja balasannya. Ketika iman kita tipis
terkikis, tak mungkin kita akan bisa beramal ikhlas
Lillahi Ta ’ala.
Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt.,
segala amal untuk memberi manfaat bagi orang
lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah
bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun
kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan
untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak
membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah
saw. Bilal mengimani janji Rasulullah saw. itu. Ia
tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang
dimiliki dalam keadaan sesulit apapun.
Kedua, untuk bisa memberi manfaat yang banyak
kepada orang lain tanpa pamrih, kita harus
mengikis habis sifat egois dan rasa serakah
terhadap materi dari diri kita. Allah swt. memberi
contoh kaum Anshor. Lihat surat Al-Hasyr ayat 9.
Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan
semua yang mereka butuhkan untuk saudara
mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum
Muhajirin telah mapan secara financial, tidak
terbetik di hati mereka untuk meminta kembali
apa yang pernah mereka beri.
Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika
bahwa sisa harta yang ada pada diri kita adalah
yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan
yang ada dalam genggaman kita. Logika ini
diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada kita. Suatu
ketika Rasulullah saw. menyembelih kambing.
Beliau memerintahkan seoran sahabat untuk
menyedekahkan daging kambing itu. Setelah
dibagi-bagi, Rasulullah saw. bertanya, berapa
yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya
tinggal sepotong paha. Rasulullah saw.
mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang tersisa
bagi kita adalah apa yang telah dibagikan.
Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah
dibagikan. Itulah milik kita yang hakiki karena kekal
menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara,
daging paha yang belum dibagikan hanya akan
menjadi sampah jika busuk tidak sempat kita
manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita
makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak
memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak
akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan
habis lapuk karena waktu, hilang karena kematian
kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita.
Maka tak heran jika dalam sejarah kita melihat
bahwa para sahabat dan salafussaleh enteng saja
menginfakkan uang yang mereka miliki. Sampai
sampai tidak terpikirkan untuk menyisakan
barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.
Keempat, kita akan mudah memberi manfaat
tanpa pamrih kepada orang lain jika dibenak kita
ada pemahaman bahwa sebagaimana kita
memperlakukan seperti itu jugalah kita akan
diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka
seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika
bertamu. Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap
seperti itu jugalah yang kita dari tetangga kita.
Kelima, untuk bisa memberi, tentu Anda harus
memiliki sesuatu untuk diberi. Kumpulkan bekal
apapun bentuknya, apakah itu finansial, pikiran,
tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air,
kita bisa memberi minum orang yang harus. Jika
punya ilmu, kita bisa mengajarkan orang yang
tidak tahu. Ketika kita sehat, kita bisa membantu
beban seorang nenek yang menjinjing tak besar.
Luangkan waktu untuk bersosialisasi, dengan
begitu kita bisa hadir untuk orang-orang di sekitar
kita.
Mudah-muhan yang sedikit ini bisa
menginspirasi.

Profil

Citayam (Ds: Rawa Panjang), Jawa Barat, Indonesia