Sabtu, 29 Mei 2010

Rasa Manisnya Sebuah Iman

Dari Anas bin Malik r.a. dari Nabi saw. bahwa
beliau bersabda, “Tiga sifat yang jika dimiliki
orang akan mendapatkan manisnya iman; Orang
yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintai dari yang lain; Orang yang mencintai
seseorang semata karena Allah; Dan orang yang
tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah
menyelamatkannya seperti ia tidak suka
dilemparkan ke dalam kobaran api.” (H.R.
Bukhari-Muslim)
Hadits ini diriwayatkan oleh dua Imam besar,
Imam Bukhari dan Imam Muslim. Teks hadits
diambil dari kitab Shahih Bukhari. Selain dua
imam ini, hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam
Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad. Hadits di atas
berbunyi:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ
فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ
حَلاَوَةَ اْلإِيمَانِ
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ
يُحِبُّهُ إِلاَّ
لِلَّهِ وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ
فِي الْكُفْرِ كَمَا
يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي
النَّارِ- متفق عليه
مَنْ كُنَّ فِيهِ , yakni orang
yang memiliki tiga sifat tersebut.
وَجَدَ بِهِنَّ , yakni dengan
sebab sifat tersebut ia akan mendapatkan.
حَلاَوَةَ
اْلإِيمَانِ, yakni manis iman,
bukan manis gula atau madu, tetapi sesuatu yang
paling manis di antara yang manis. Rasa manis
yang dirasakan manusia pada dadanya, pada
hatinya. Suatu kelezatan yang tidak ada
bandingnya, ia mendapatkan rasa lega pada
hatinya, rasa ingin melakukan kebaikan, rasa suka
dan cinta kepada orang-orang baik. Rasa manis
yang hanya dapat diketahui hakikatnya oleh orang
yang telah merasakannya setelah lama tidak
mendapatkan rasa manis itu.
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا , yakni orang yang
menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari
selain keduanya. Dalam hadits tidak digunakan
ta’bir, ungkapan ثم رسوله karena
kecintaan kepada Rasulullah saw mengikut
kecintaannya kepada Allah. Manusia akan
mencintai Allah sebesar manusia itu mencintai
Allah. Ketika kecintaannya kepada Allah
bertambah, maka bertambah pula kecintaannya
kepada Rasulullah saw. Kecintaan kepada Rasul
mengikuti kadar kecintaannya kepada Allah.
Yang patut disayangkan adalah ada sebagian
orang yang kecintaannya kepada Rasulullah saw
melebihi kecintaannya kepada Allah. Orang seperti
ini berarti mencintai Rasulullah saw bersama
mencintai Allah. Jika kecintaan kepada Rasulullah
saw melebihi kecintaan kepada Allah, maka hal ini
termasuk salah satu jenis kemusyrikan, karena
menjadikan Rasulullah saw sebagai sekutu dalam
kecintaan. Orang ini akan bergetar ketika
disebutkan nama Rasulullah saw dan tidak
bergetar ketika disebut nama Allah hatinya tidak
ada respon dan tidak ada getar.
Karena itulah dalam surat Ali Imran ayat 31 Allah
menyebutkan bahwa jika kita benar-benar
mencintai Allah, maka kita harus mengikuti
Rasulullah saw. sehingga Allah akan mencintai
kita. Pusat dan sumber alasan kecintaan kita
kepada sesuatu adalah Allah, termasuk juga
kecintaan kepada Rasulullah saw.
Dengan kelemahan manusia seperti disebutkan
Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 72 bahwa
manusia adalah makhluk yang zhalim dan jahil,
terkadang manusia lupa dengan cinta yang hakiki.
Manusia hidup dalam perburuan cinta palsu,
terutama di zaman hedonisme ini. Segala
kemajuan materialis sangat meninakbobokan
manusia untuk mengenal diri dan penciptanya,
apalagi untuk memahami hakikat hidup dan
tujuannya. Itulah kondisi masyarakat di negara-
negara maju dan di sebagian di negara-negara
berkembang.
وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لاَ
يُحِبُّهُ إِلاَّ
لِلَّهِ, yakni orang yang mencintai
orang lain karena Allah. Mencintai dan membenci
karena Allah. Mencintai orang bukan karena
kekerabatan. Juga bukan karena harta dan jabatan
atau alasan duniawi semata. Mencintai orang
karena Allah. Sama halnya juga dengan
membenci seseorang semata karena Allah. Nafsu
manusia sering menghalangi kita untuk mencinta
dan membenci seseorang karena Allah. Manusia
mencintai karena ada sesuatu yang ingin ia
dapatkan dari orang tersebut.
Ada sebagian orang yang ketika mendapatkan
jasa seseorang akan membuat dia tidak dapat
mencinta dan membenci karena Allah. Segala
pemberian yang ia terima akan membuat dirinya
tidak dapat memposisikan diri apakah harus
mencinta atau membenci ketika orang yang
pernah menanamkan jasa tersebut bertentangan
dengan syariat Allah. Karena itulah seorang dai
harus memelihara izzahnya untuk tidak dengan
mudah menerima segala pemberian yang
membuat ia tidak dapat memberikan nasihat.
Kesederhanaan dan kemandirian seorang dai
menjadi tuntutan agar ia tetap dapat
menyampaikan kebenaran kepada semua orang.
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ
يَعُودَ فِي الْكُفْرِ
كَمَا يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي النَّارِ ,
yakni benci untuk kembali kepada kekafiran
setelah kembali kepada Allah sama seperti
bencinya dilemparkan ke dalam kobaran api.
Orang yang tidak ingin kembali kepada kekafiran
setelah mendapatkan hidayah Islam dan petunjuk
yang benar. Orang yang telah mendapatkan
hidayah Islam kemudian kembali kepada kekafiran
dan kemusyrikan disebut dengan murtad. Orang-
orang murtad adalah golongan yang boleh
diperangi hingga kembali kepada aqidah Islam.
Orang yang dipaksa mengatakan kalimat
kekufuran, tetapi hatinya tenang dengan
keimanan, maka orang ini tidak termasuk orang
yang murtad dari hidayah Islam. Allah berfirman,
“ Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia
beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk
kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya azab yang besar. Yang demikian itu
disebabkan karena sesungguhnya mereka
mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat,
dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk
kepada kaum yang kafir. ” (An-Nahl: 106-107)
Sebagaimana manusia mendapatkan hidayah
secara bertahap, maka orang yang murtad juga
menjadi murtad tentunya dengan suatu tahapan
dan proses.
Jika ketiga sifat ini dimiliki oleh seorang muslim,
maka ia dapat merasakan manisnya iman. Jika
manisnya gula atau madu semua orang dapat
merasakannya dan tidak ada yang mengingkari
bahwa gula dan madu adalah manis. Tapi ketika
kita mendengar kata iman, kita tidak serta merta
mengenal bahwa rasa iman itu adalah manis,
beda dengan gula dan madu. Karena itulah tidak
semua orang yang mengaku beriman merasa
bahwa iman itu manis. Karena keimanan orang
itu bertingkat-tingkat antara satu orang dengan
orang lain, maka tidak semua orang dapat
merasakan manisnya iman.
Ketika kita tidak dapat merasakan manisnya iman
bukan berarti iman itu tidak manis, tapi kita belum
sampai pada tingkat keimanan yang membuat
kita merasakan bahwa beriman itu manis dan
menyenangkan. Senang beramal saleh. Senang
berbuat baik. Senang memberikan kegembiraan
kepada orang lain. Senang melihat orang
mendapatkan kesenangan. Senang jika
masyarakat mengamalkan Islam. Senang jika
kemaksiatan ditumpas. Wallahu a ’lam.

Profil

Citayam (Ds: Rawa Panjang), Jawa Barat, Indonesia