Senin, 31 Mei 2010

Obat Penenang Jiwa

Segala puji untuk Allah, Yang telah menurunkan
al-Qur ’an sebagai petunjuk dan obat bagi hamba-
hamba yang beriman. Salawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Imam orang-orang
yang bertakwa, yang telah menguraikan ayat-
ayat-Nya kepada segenap umatnya. Amma
ba ’du.
Saudaraku, sudah menjadi tabiat manusia bahwa
mereka menyukai sesuatu yang bisa
menyenangkan hati dan menentramkan jiwa
mereka. Oleh sebab itu, banyak orang rela
mengorbankan waktunya, memeras otaknya,
dan menguras tenaganya, atau bahkan kalau
perlu mengeluarkan biaya yang tidak kecil
jumlahnya demi meraih apa yang disebut sebagai
kepuasan dan ketenangan jiwa. Namun, ada
sebuah fenomena memprihatinkan yang sulit
sekali dilepaskan dari upaya ini. Seringkali kita
jumpai manusia memakai cara-cara yang dibenci
oleh Allah demi mencapai keinginan mereka.
Ada di antara mereka yang terjebak dalam jerat
harta. Ada yang terjebak dalam jerat wanita. Ada
yang terjebak dalam hiburan yang tidak halal. Ada
pula yang terjebak dalam aksi-aksi brutal atau
tindak kriminal. Apabila permasalahan ini kita
cermati, ada satu faktor yang bisa ditengarai
sebagai sumber utama munculnya itu semua. Hal
itu tidak lain adalah karena manusia tidak lagi
menemukan ketenangan dan kepuasan jiwa
dengan berdzikir dan mengingat Rabb mereka.
Padahal, Allah ta’ala telah mengingatkan hal ini
dalam ayat (yang artinya), “Orang-orang yang
beriman dan hati mereka bisa merasa tentram
dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya
dengan mengingat Allah maka hati akan merasa
tentram. ” (QS. ar-Ra’d: 28). Ibnul Qayyim
rahimahullah menyebutkan bahwa pendapat
terpilih mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini
adalah mengingat al-Qur’an. Hal itu disebabkan
hati manusia tidak akan bisa merasakan
ketentraman kecuali dengan iman dan keyakinan
yang tertanam di dalam hatinya. Sementara iman
dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan
menyerap bimbingan al-Qur ’an (lihat Tafsir al-
Qayyim, hal. 324)
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Dzikir merupakan
sebuah kelezatan bagi hati orang-orang yang
mengerti. ” Demikian juga Malik bin Dinar
mengatakan, “Tidaklah orang-orang yang
merasakan kelezatan bisa merasakan
sebagaimana kelezatan yang diraih dengan
mengingat Allah. ” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-
Hikam, hal. 562). Sekarang, yang menjadi
pertanyaan kita adalah; mengapa banyak di antara
kita yang tidak bisa merasakan kelezatan berdzikir
sebagaimana yang digambarkan oleh para ulama
salaf. Sehingga kita lebih menyukai menonton
sepakbola daripada ikut pengajian, atau lebih suka
menikmati telenovela daripada merenungkan
ayat-ayat-Nya, atau lebih suka berkunjung ke
lokasi wisata daripada memakmurkan rumah-
Nya.
Perhatikanlah ucapan Rabi’ bin Anas berikut ini,
mungkin kita akan bisa menemukan jawabannya.
Rabi ’ bin Anas mengatakan sebuah ungkapan dari
sebagian sahabatnya, “Tanda cinta kepada Allah
adalah banyak berdzikir/mengingat kepada-Nya,
karena sesungguhnya tidaklah kamu mencintai
apa saja kecuali kamu pasti akan banyak-banyak
menyebutnya. ” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam,
hal. 559). Ini artinya, semakin lemah rasa cinta
kepada Allah dalam diri seseorang, maka semakin
sedikit pula ‘kemampuannya’ untuk bisa
mengingat Allah ta’ala. Hal ini secara tidak
langsung menggambarkan kondisi batin kita yang
begitu memprihatinkan, walaupun kondisi
lahiriyahnya tampak baik-baik saja. Aduhai,
betapa sedikit orang yang memperhatikannya!
Ternyata, inilah yang selama ini hilang dan
menipis dalam diri kita; yaitu rasa cinta kepada
Allah…
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan
ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta
untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok
penghambaan dan penyembahan kepada-Nya.
Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak
akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba
kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan
kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan
daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga
rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa
cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu
atasnya, yang membuat segala perkara yang
dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan
ini yang dengannya seorang hamba akan bisa
menggapai kebahagiaan dan
kemenangannya. ” (al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid
at-Tauhid, hal. 95)
Kalau demikian keadaannya, maka solusi untuk
bisa menggapai ketenangan jiwa melalui dzikir
adalah dengan menumbuhkan dan menguatkan
rasa cinta kepada Allah. Dan satu-satunya jalan
untuk mendapatkannya adalah dengan mengenal
Allah melalui keagungan nama-nama dan sifat-
sifat-Nya dan memperhatikan kebesaran ayat-
ayat-Nya, yang tertera di dalam al-Qur ’an
ataupun yang berwujud makhluk ciptaan-Nya.
Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi
hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya rasa cinta
kepada sesuatu merupakan cabang dari
pengenalan terhadapnya. Maka manusia yang
paling mengenal Allah adalah orang yang paling
cinta kepada-Nya. Dan setiap orang yang
mengenal Allah pastilah akan mencintai-Nya. Dan
tidak ada jalan untuk menggapai ma ’rifat ini
kecuali melalui pintu ilmu mengenai nama-nama
Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak akan kokoh
ma ’rifat seorang hamba terhadap Allah kecuali
dengan berupaya mengenali nama-nama dan
sifat-sifat-Nya yang disebutkan di dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah…” (Mu’taqad Ahlis Sunnah
wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal.
16)
Hati seorang hamba akan menjadi hidup, diliputi
dengan kenikmatan dan ketentraman apabila hati
tersebut adalah hati yang senantiasa mengenal
Allah, yang pada akhirnya membuahkan rasa
cinta kepada Allah lebih di atas segala-galanya
(lihat Mu ’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid
al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 21). Di sisi yang lain,
kelezatan di akherat yang diperoleh seorang
hamba kelak adalah tatkala melihat wajah-Nya.
Sementara hal itu tidak akan bisa diperolehnya
kecuali setelah merasakan kelezatan paling agung
di dunia, yaitu dengan mengenal Allah dan
mencintai-Nya, dan inilah yang dimaksud dengan
surga dunia yang akan senantiasa menyejukkan
hati hamba-hamba-Nya (lihat ad-Daa ’ wa ad-
Dawaa’, hal. 261)
Banyak orang yang tertipu oleh dunia dengan
segala kesenangan yang ditawarkannya sehingga
hal itu melupakan mereka dari mengingat Rabb
yang menganugerahkan nikmat kepada mereka.
Hal itu bermula, tatkala kecintaan kepada dunia
telah meresap ke dalam relung-relung hatinya.
Tanpa terasa, kecintaan kepada Allah sedikit demi
sedikit luntur dan lenyap. Terlebih lagi ‘didukung’
suasana sekitar yang jauh dari siraman petunjuk
al-Qur ’an, apatah lagi pengenalan terhadap
keagungan nama-nama dan sifat-Nya. Maka
semakin jauhlah sosok seorang hamba yang
lemah itu dari lingkaran hidayah Rabbnya. Sholat
terasa hampa, berdzikir tinggal gerakan lidah
tanpa makna, dan al-Qur ’an pun teronggok
berdebu tak tersentuh tangannya. Wahai
saudaraku … apakah yang kau cari dalam hidup
ini? Kalau engkau mencari kebahagiaan, maka
ingatlah bahwa kebahagiaan yang sejati tidak akan
pernah didapatkan kecuali bersama-Nya dan
dengan senantiasa mengingat-Nya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Akan tetapi
ternyata kalian lebih mengutamakan kehidupan
dunia, sementara akherat itu lebih baik dan lebih
kekal. ” (QS. al-A’la: 16-17). Allah juga berfirman
mengenai seruan seorang rasul yang sangat
menghendaki kebaikan bagi kaumnya (yang
artinya), “Wahai kaumku, ikutilah aku niscaya
akan kutunjukkan kepada kalian jalan petunjuk.
Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia
ini hanyalah kesenangan (yang semu), dan
sesungguhnya akherat itulah tempat menetap
yang sebenarnya. ” (QS. Ghafir: 38-39) (lihat ad-
Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 260)
Apabila engkau menangis karena ludesnya
hartamu, atau karena hilangnya jabatanmu, atau
karena orang yang pergi meninggalkanmu, maka
sekaranglah saatnya engkau menangisi rusaknya
hatimu … Allahul musta’aan wa ‘alaihit tuklaan.
Sumber: http//muslim.or.id

Profil

Citayam (Ds: Rawa Panjang), Jawa Barat, Indonesia