Sabtu, 29 Mei 2010

Tak Senilai Sayap Nyamuk

“Hai manusia, sesungguhnya
janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali
kehidupan dunia memperdayakanmu, dan
jangan (pula) penipu (setan) memperdayakanmu
dalam (mentaati) Allah. ” (QS. Luqman: 33)
Dunia memang indah. Warna-warni alamnya
teramat sulit dilukiskan dengan kata-kata. Hiasan-
hiasannya bagaikan magnet yang mampu
menarik siapa pun di sekelilingnya. Pesonanya
bisa memukau mata manusia mana pun yang
menatapnya dengan penuh harap. Mereka pun
berkhayal, andai dunia tak pernah berpisah.
Kenikmatan yang berlimpah kadang bisa lebih
berbahaya dari musibah terburuk apa pun.
Seorang hamba Allah mungkin bisa bertahan
dengan siksaan dan penjara. Tapi, belum tentu ia
mulus dengan cobaan banyaknya harta.
Berbahagialah hamba Allah yang kaya dan
senantiasa bersyukur.
Jangan pernah bergeser dari niat yang
ikhlas
Ikhlas adalah dasar diterima atau tidaknya sebuah
amal. Apalah arti sebuah prestasi jika Allah swt.
tidak menganggapnya sebagai sebuah bakti.
Mungkin, manusia bisa tertipu dengan hiasan-
hiasan amal yang ditampilkan. Tapi, Allah Maha
Tahu apa yang tersembunyi di balik hati seorang
hamba. Sekecil apa pun.
Keanggunan hiasan dunia kadang membuat hati
manusia tertipu, terpedaya. Buat siapa pun,
termasuk hamba Allah yang giat beramal.
Bahkan, seorang sahabat Rasul sekali pun. Kisah
kurang amanahnya pasukan pemanah pimpinan
Abu Ubaidah pada Perang Uhud memberikan
pelajaran tersendiri. Mereka siap menempuh
bahaya seganas apa pun. Tapi, tak sesiap itu
ketika menatap lambaian ghanimah. Kenikmatan
dunia memperdaya mereka, merontokkan
komitmen mereka terhadap perintah Rasul: “Apa
pun yang terjadi, kalian harus tetap di bukit ini!”
Tidak heran, jika Allah swt. mengajarkan Thalut
untuk menguji kesetiaan pasukannya dengan
sungai. Buat kondisi jazirah Arab yang panas,
sungai merupakan perwujudan standar dari
bentuk kenikmatan dunia: menggiurkan di saat
dahaga, menyejukkan di saat panas terik
membakar. Kalau pada takaran standar saja
mereka rontok, apatah lagi dengan kenikmatan
yang lebih besar. Dan peperangan yang akan
mereka hadapi bukan sekadar menumbangkan
Jalut, tapi mengendalikan diri dari hamparan
kenikmatan yang dimiliki Jalut. Mampukah?
Amru bin Ash r.a. di saat menghadapi akhir
hayatnya pun menyadari. Betapa ia yang pernah
berjuang bersama Rasulullah saw., menghunus
pedang untuk membantai musuh-musuh Islam
dengan pengorbanan yang tidak kecil, pun
akhirnya bisa terpedaya dengan nikmatnya
kekuasaan. Sebuah bagian dari kenikmatan dunia
yang belum seberapa.
Tidak ada yang mampu mengawasi jati diri
seorang hamba kecuali Allah dan dirinya sendiri.
Dirinyalah yang tahu, apakah niatnya masih lurus.
Atau, sudah bergeser. Dan kelak, ia akan menuai
amal yang pernah ia tanam. Bagus atau buruk.
Biasakan untuk senantiasa memberi, bukan
sebaliknya
Manusia memang tak bisa lepas dari tarikan
dunia. Karena, sebagian dirinya berasal dari unsur
tanah yang berarti bagian dari wujud dunia. Ia
butuh makan, minum, tempat tinggal, pasangan,
keluarga, status sosial, dan sebagainya. Tinggal,
bagaimana ia mengelola keakrabannya dengan
dunia.
Orang yang akrab dengan sesuatu biasanya akan
cinta. Dan cinta menjadikan seseorang sulit
dipisahkan dengan yang dicintai. Karena itu,
sebelum seseorang terlanjur mencintai dunia, ia
harus melatih diri untuk secara rutin berpisah.
Biar kecil, tapi rutin.
Di situlah mungkin, di antara hikmah Allah swt.
mewajibkan infak buat orang-orang yang
beriman. Tak ada keuntungan sedikit pun buat
Allah. Karena, tak satu pun benda di alam ini
melainkan dari-Nya. Semua manfaat itu akan
kembali kepada manusia itu sendiri.
Sekilas, memberi terasa merugikan. Karena, ada
bagian kepemilikannya yang dikorbankan buat
orang lain. Tapi, justru di situlah seorang yang
mudah memberi akan merasakan manfaat. Selain
menyeimbangkan keakrabannya dengan dunia,
memberi adalah bentuk investasi lain buat
kepemilikan yang lebih berharga dari materi yang
ia korbankan. Selain balasan dari Allah, ia akan
mendapatkan nilai sosial lebih. Harga sosialnya
akan semakin mahal, tanpa ia sadari.
Allah swt. berfirman, “Ada pun orang yang
memberikan (hartanya di jalan Allah) dan
bertakwa, dan membenarkan adanya pahala
yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah. ” (QS. Al-
Lail: 5-7)
Turunan dari memberi begitu banyak. Rasulullah
saw. sering menganjurkan kita untuk bersedekah,
memberi hadiah, menolong orang yang kesulitan
dana, mengurus anak yatim, dan lain-lain. Karena
itu, bersikaplah untuk senantiasa siap memberi
buat orang lain. Bukan, berharap-harap apa yang
mesti orang lain berikan kepada kita.
Jadilah seperti seorang penjual, bukan
pembeli
Perbedaan mendasar antara seorang penjual
dengan pembeli adalah sikap mental. Seorang
penjual punya sikap pelayanan. Dan pembeli
punya sikap memilih-milih, tidak merasa perlu.
Apa pun yang dituntut pembeli, penjual akan
menyesuaikan diri. Bahkan, ia harus siap dicela,
dimarahi pembeli, tanpa memperlihatkan reaksi
ketidaksukaan. Apalagi perlawanan. Dan,
manajemen moderen membenarkan itu.
Begitu pun dalam beramal. Kehidupan seorang
hamba Allah di dunia ini tak lain adalah seorang
penjual. Dan Allahlah Si Pembeli. Pembeli bisa
menentukan kriteria apa saja atas barang yang
dibeli. Dan penjual wajib memenuhi, jika
dagangannya mau terjual.
Allah swt. berfirman dalam surah At-Taubah ayat
111, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin, diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi)
janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil
dan Alquran. Dan siapakah yang lebih menepati
janjinya (selain) daripada Allah? Maka,
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. ”
Tak ada satu penjual pun yang santai-santai saja
menyambut tawaran harga tinggi dari seorang
pembeli. Dan harga apalagi yang lebih tinggi dari
surga yang penuh kenikmatan. Dan satu lagi. Tak
ada penjual yang sedemikian cintanya dengan
dagangannya sehingga ia tak akan pernah
menjual. Teramat bodoh seorang penjual yang
bersikap, “Biarlah saya tak untung, yang penting
barang dagangan yang saya cintai tak terjual!”
Saat itu, ia bukan lagi seorang penjual. Tapi,
penikmat.
Seorang hamba Allah yang cerdas tak akan
terpedaya dengan dunia. Seindah apa pun, ia
tampil. Segemerlap apa pun dunia bersolek.
Karena dalam pandangan Allah, dunia tak senilai
saya nyamuk. Rasulullah saw. bersabda,
“ Andaikan dunia itu senilai dengan sayap nyamuk
di sisi Allah, maka Allah tidak akan memberi
minum kepada orang kafir walaupun seteguk air
dari dunia. ” (HR. Tirmidzi)

Profil

Citayam (Ds: Rawa Panjang), Jawa Barat, Indonesia