Kamis, 03 Juni 2010

Risalah Tuk Saudara Tercinta

الحمد لله وكفى، وصلاة وسلاما على عباده
الذين اصطفى .. أما بعد :
Sesungguhnya setiap manusia akan mengalami
kesudahan. Betapa pun lezatnya dia merasakan
kenikmatan hidup di dunia, betapa pun panjang
umurnya, betapa pun dia memuaskan syahwat
dan meneguk kenikmatan dunia, dirinya tetap
akan mengalami kesudahan. Kematian! Itulah
kesudahan tersebut. Sesuatu yang tidak dapat
dihindari. Allah ta’ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati.” (QS. Ali Imran: 185)
Seorang penyair berkata,
كل ابن أنثى وإن طالت سلامته
يوما على آلة حدباء محمول
Setiap manusia, betapa pun panjang umurnya
Kelak di suatu hari, dirinya akan terusung di atas
keranda
Pada hari tersebut seluruh makhluk kembali
menghadap kepada Allah jalla wa ‘ala agar
seluruh amalan mereka dihisab. Allah ta’ala
berfirman,
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ
إِلَى اللَّهِ
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi
pada) hari yang pada waktu itu kamu semua
dikembalikan kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 281)
Hari yang sering terlupakan, hari yang paling
akhir, hari di mana kerongkongan tersekat. Tiada
hari setelahnya dan tidak ada yang semisal
dengannya. Itulah hari yang dahsyat dan telah
Allah tetapkan bagi seluruh makhluk-Nya, baik
yang muda maupun yang tua, yang terpandang
maupun yang hina. Itulah hari kiamat, pertemuan
yang telah dijanjikan.
Namun sebelum itu, ada waktu di mana setiap
manusia berpindah dari kampung yang penuh
tipu daya menuju kampung abadi sesuai dengan
amalannya. Pada waktu itu, manusia akan
melayangkan pandangannya yang terakhir kali
kepada anak dan kerabatnya, dirinya akan
memandang dunia ini untuk kali yang terakhir. Di
saat itulah, tanda-tanda sekarat akan nampak di
wajahnya. Muncul rasa sakit dan tarikan nafas
yang teramat dalam dari lubuk hatinya.
Di waktu itu, manusia akan mengetahui betapa
hinanya dunia ini. Di waktu itu, dirinya akan
menyesali setiap waktu yang telah disia-
siakannya. Dirinya akan memanggil, “Wahai
Rabb-ku!”,
رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ
صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ
“Dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke
dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap
yang telah aku tinggalkan.” (QS. Al Mu’minuun:
99-100)
Di waktu itulah, kebinasaan dan kematian akan
menjemputnya. Malaikat maut akan
menghampirinya seraya memanggil dirinya.
Duhai! Apakah yang akan dia serukan? Seruan
menuju surga ataukah seruan menuju neraka?!!
Ketahuilah, sesungguhnya pengasingan yang
hakiki adalah pengasingan dalam lahad tatkala diri
diliputi kain kafan. Tidakkah anda membayangkan
bagaimana anda diletakkan di atas dipan, tiba-tiba
tangan para handai taulan mengguncang tubuh
anda (agar anda tersadar). Sekarat semakin keras
anda alami dan kematian menarik ruh anda di
setiap urat. Kemudian ruh tersebut kembali
menuju kepada Pencipta-nya. Alangkah
dahsyatnya kejadian itu!
Para keluarga pun datang dan menyalati anda,
kemudian menurunkan jasad anda ke dalam
kubur. Sendirian, tanpa seorang pun yang
menemani. Ibu dan bapak tidak lagi menemani,
saudara pun tidak ada yang akan menenangkan.
Di sanalah seorang akan merasakan keterasingan
dan ketakutan yang teramat sangat. Dalam
sekejap, hamba akan berpindah dari kampung
yang hina menuju negeri yang dipenuhi
kenikmatan jika dirinya termasuk seorang yang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal yang
shalih. Atau sebaliknya, dia akan menuju negeri
kesengsaraan dan dipenuhi azab yang pedih, bila
dirinya termasuk seorang yang buruk amalnya
dan senang mendurhakai Sang Pencipta jalla wa
‘ala.
Sisi kehidupan dunia yang menipu telah dilipat,
dan nampaklah di hadapan hamba ketakutan di
hari kebangkitan. Hiburan dan kesenangan
berlalu, dan yang tersisa hanyalah kelelahan (di
hari berbangkit). Dalam sekejap, lembaran hidup
seorang tertutup, entah lembaran hidupnya
diwarnai dengan kebaikan atau sebaliknya
diwarnai dengan keburukan. Timbul dalam hati,
penyesalan terhadap hari-hari yang telah dilalui
dalam keadaan lalai dari mengingat Allah dan hari
akhir.
Demikianlah, dunia dan seisinya berlalu dan
berakhir sedemikian cepatnya. Dan sekarang
dirinya menghadapi tanda-tanda kesengsaraan di
depan matanya. Ruhnya kembali kepada
penciptanya dan berpindah menuju kampung
akhirat dengan berbagai keadaannya yang begitu
menakutkan. Dalam sekejap, dirinya kembali
menjadi sesuatu yang tidak dapat disebut. Dalam
sekejap, seorang singgah di awal persinggahan
akhirat dan menghadapi kehidupan yang baru.
Entah itu kehidupan yang bahagia, atau kehidupan
yang mengenaskan. Wal ‘iyadzu billah.
Terdapat kubur yang penghuninya saling
berdekatan dan berbeda-beda tingkat
keshalihannya, itulah kubur yang didiami oleh
penghuni yang senantiasa merasakan kenikmatan
dan kesenangan.
Ada pula kubur yang terletak di lapis terbawah
dan dipenuhi siksaan yang teramat pedih.
Penghuninya berteriak, namun tidak ada seorang
pun yang menjawabnya. Dirinya meminta agar
dikasihani, namun tidak seorang pun yang
mampu memenuhi permintaannya.
Kemudian, dirinya akan menemui hari yang telah
dijanjikan. Suatu hari, ketika bumi diganti dengan
bumi yang lain dan demikian pula langit dan
seluruh makhluk di Padang Mahsyar berkumpul
menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi
Maha Perkasa. Suatu hari, yang pada hari itu
seorang tidak mampu menolong orang yang
dikasihinya sedikit pun.
Tatkala malaikat penyeru memanggil, keluarlah
seluruh mayit dari kubur menuju Rabb-nya
dalam keadaan bertelanjang kaki, tak berbaju dan
tidak berkhitan. Mereka tidak lagi memiliki pertalian
nasab, juga kemuliaan, tidak pula kedudukan dan
harta.
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا
أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا
يَتَسَاءَلُونَ . فَمَنْ ثَقُلَتْ
مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ . وَمَنْ خَفَّتْ
مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ
خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ
خَالِدُونَ . تَلْفَحُ وُجُوهَهُمُ
النَّارُ وَهُمْ فِيهَا كَالِحُونَ
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi
pertalian nasab di antara mereka pada hari itu,
dan tidak ada pula mereka saling bertanya.
Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya,
maka mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan keberuntungan. Barangsiapa yang
ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-
orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka
kekal di dalam neraka Jahanam. Muka mereka
dibakar api neraka, dan mereka di dalam neraka
itu dalam keadaan cacat.” (QS. Al Mukminuun:
101-104).
Pada hari itu, Allah mengumpulkan seluruh umat,
baik yang terdahulu maupun yang datang
kemudian. Di hari itu, kecemasan dan kesabaran
tercerai berai. Pada hari itu, berbagai catatan amal
disebar dan dipancanglah berbagai timbangan
amal. Di hari itu, seorang akan lari dari
saudaranya, dari ibu dan bapaknya, juga dari istri
dan anaknya. Hari di mana seorang pelaku
maksiat (kafir) menginginkan, jika sekiranya dia
dapat menebus dirinya dari azab hari itu dengan
anak-anaknya, istrinya, saudaranya serta kaum
kerabat yang telah melindunginya di dunia.
Wahai Saudara Tercinta
Wahai anda yang bermaksiat kepada Allah.
Bayangkanlah dirimu berdiri di antara para
makhluk, lalu anda dipanggil, “Manakah gerangan
fulan bin fulan? Mari bergegas ke hadapan Allah!”
Engkau pun menggigil ketakutan, kedua kaki dan
seluruh tubuhmu gemetar ketakutan. Raut
wajahmu pun berubah dan dirimu diliputi
kegelisahan, kebingungan dan kerisauan yang
hanya Allah-lah mengetahui (keadaanmu).
Bayangkanlah dirimu berdiri di hadapan Sang
Pencipta langit dan bumi, sementara hati dan
anggota tubuhmu ketakutan, dengan pandangan
tertunduk lagi hina. Tangan anda memegang
catatan amal yang berisikan segala amalan anda
yang rendah lagi hina. Anda pun membacanya
dengan lidah yang kelu dan hati yang kacau.
Dirimu pun merasa malu terhadap Zat yang
senantiasa berbuat baik kepadamu dan selalu
menutup aibmu.
Maka jawablah! Bagaimanakah anda akan
menjawab, ketika Dia bertanya kepadamu tentang
suatu kesalahan yang merupakan dosa
terbesarmu? Bagaimanakah anda akan berdiri di
hadapannya dan sanggupkah engkau
memandangnya? Bagaimana hati anda sanggup
menahan perkataan-Nya yang mulia serta
berbagai pertanyaan dan teguran-Nya?
Bagaimana jika Dia mengingatkan terhadap segala
bentuk penentanganmu terhadap-Nya,
kemaksiatan yang anda lakukan, kurangnya
perhatian terhadap larangan dan pengawasan-
Nya terhadap dirimu? Bagaimana jika Dia
mengingatkan akan lemahnya perhatianmu untuk
menaati-Nya di dunia?
Apa yang akan anda katakan jika Dia bertanya
kepadamu, “Wahai hamba-Ku, mengapa engkau
tidak memuliakan-Ku?! Apakah engkau tidak malu
kepada-Ku?! Apakah engkau tidak merasa bahwa
Aku mengawasimu?! Bukankah Aku telah berbuat
baik dan memberikan nikmat kepadamu?! Apakah
yang telah memperdayakanmu sehingga berbuat
durhaka kepada-Ku?
Wahai Saudara Tercinta
Bayangkanlah para pelaku kebaikan tatkala
dikeluarkan dari kubur! Wajah mereka bersinar
putih sebagai tanda kebajikan yang telah mereka
lakukan. Mereka keluar dari kubur dengan tanda
tersebut sebagai anugerah dari Allah Zat yang
Mahamulia. Para malaikat menyambut mereka
sembari berkata, “Inilah hari yang telah dijanjikan
kepada kalian”. Bayangkanlah tatkala Allah ta’ala
berkata, “Wahai para malaikat-Ku, masukkanlah
para hamba-Ku ke dalam surga yang dipenuhi
berbagai kenikmatan, masukkanlah mereka ke
dalam keridaan yang agung.” Segala puji bagi
Allah, mereka pun hidup dalam kehidupan yang
menyenangkan. Surga-surga dibukakan bagi
mereka, bidadari mengelilingi untuk melayani
mereka. Hilanglah sudah, kecemasan dan
keletihan yang mereka alami.
Sebaliknya, bayangkanlah nasib jiwa yang zalim
lagi gemar bermaksiat kepada-Nya. Allah berkata
kepada malaikat-Nya, “Peganglah dia, lalu
belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian
masukkanlah dia ke dalam api neraka yang
menyala-nyala. Sungguh amarah-Ku telah
memuncak terhadap orang yang tidak malu
ketika bermaksiat kepada-Ku.”
Akhirnya, jiwa yang zalim lagi penuh dosa
menghuni neraka yang menyala dan
bergemuruh. Jiwa tersebut senantiasa berangan-
angan, jika sekiranya ia mampu kembali ke dunia
agar dapat bertaubat kepada Allah dan
mengerjakan amal yang shalih. Namun, hal
tersebut mustahil terjadi. Maka tertelungkuplah ia
di atas keningnya, terjatuh ke dalam jurang-
jurang kegelapan dan terombang-ambing di
antara tangga-tangga neraka dan lapisan neraka
terbawah, terombang-ambing di antara
penyesalan dan malapetaka.
Alangkah jauh perbedaan kedua golongan
tersebut, antara mereka yang berada dalam surga
dan mereka yang berada dalam neraka. Sungguh
benar firman Allah,
إِنَّ الأبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ . وَإِنَّ
الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak
berbakti benar-benar berada dalam surga yang
penuh kenikmatan. Dan sesungguhnya orang-
orang yang durhaka benar-benar berada dalam
neraka.” (QS. Al Infithaar: 13-14).
Wahai Saudara Tercinta
Bagi anda yang membaca risalah ini, rehatlah
sejenak dan mari berintrospeksi diri! Jika anda
termasuk golongan yang bersegera dalam
melaksanakan ketaatan dan peribadatan kepada
Allah serta menjauhi maksiat dan kedurhakaan
kepada-Nya, maka pujilah Allah atas nikmat
tersebut, mohonlah keteguhan kepada-Nya
hingga maut datang menjemput dan dengan
seizin Allah kenikmatan akan anda raih tanpa ada
yang merebutnya darimu.
Namun, jika anda tidak termasuk di dalamnya,
maka segeralah bertaubat kepada Allah dan
kembalilah ke jalan petunjuk. Janganlah anda
menentang dan senantiasa mengerjakan maksiat,
karena hal tersebut akan menghantarkan anda
kepada adzab Allah.
Sungguh diri anda teramat lemah untuk memikul
dan menahan adzab-Nya. Gunung yang tinggi
lagi kokoh jika dilabuhkan sejenak di neraka, maka
dia akan meleleh dikarenakan panasnya yang
teramat sangat. Bagaimana dengan diri anda,
wahai manusia yang lemah?
Anda mungkin dapat sabar dalam menahan lapar
dan dahaga, juga mampu untuk sabar menahan
derita musibah dan beban hidup. Namun, demi
Allah, Zat yang tiada sesembahan yang berhak
disembah selain-Nya, anda tidak akan mampu
bersabar dalam menahan azab neraka.
Jauhkanlah diri anda dari azab neraka selama di
dunia ini, sebelum penyesalan menghampiri anda
dan waktu tidak mampu terulang kembali.
Ketahuilah, bersabar untuk meninggalkan perkara
yang diharamkan di dunia ini lebih mudah
ketimbang bersabar menahan azab-Nya di hari
kiamat kelak.
Ketahuilah saudaraku, menempuh jalan
keteguhan tidaklah sulit untuk dijalani dan
mengekang kebebasan seperti anggapan
sebagian orang. Justru, di dalamnya terdapat
kebahagiaan, kelezatan, kenyamanan dan
ketenangan. Apalagi yang manusia butuhkan di
kehidupan ini selain hal tersebut?
Sebaliknya, kehidupan yang diwarnai kemaksiatan
dan kedurhakaan, seluruhnya dipenuhi oleh rasa
cemas, kemalangan dan kerugian di dunia serta
akan dilanjutkan dengan kepedihan azab di akhirat
kelak.
Tempuhlah jalan petunjuk itu wahai saudaraku
dan janganlah dirimu ragu. Sesungguhnya, diriku
hanyalah pemberi nasihat bagi diriku sendiri dan
bagimu dan sudilah kiranya dirimu
menerimanya.
Selesai diterjemahkan dari artikel “Rihlah ilaa Daaril
Qarar” tanggal 23 Dzulqa’dah 1428 H
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه
أجمعين

3 Tanda Kebahagiaan

Sungguh, ini adalah 3 tanda kebahagiaan yang
mesti setiap orang raih.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Al Wabilush
Shoyyib mengatakan,
ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
الله سبحانه وتعالى المسؤول المرجو
الإجابة أن يتولاكم في الدنيا والآخرة وأن
يسبغ عليكم نعمه ظاهرة وباطنة وأن يجعلكم
ممن إذا أنعم عليه شكر وإذا ابتلي صبر وإذا
أذنب استغفر فإن هذه الأمور الثلاثة عنوان
سعادة العبد وعلامة فلاحه في دنياه وأخراه
ولا ينفك عبد عنها أبدا فإن العبد دائم
التقلب بين هذه الأطباق الثلاث
Tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah Yang
Maha Tinggi lagi Maha Agung, Yang senantiasa
diharapkan terijabahnya do ’a. Semoga Allah
melindungi kalian di dunia dan akhirat. Semoga
Allah senantiasa melapangkan nikmat-Nya baik
secara zhohir maupun batin. Semoga Allah pula
menjadikan kalian menjadi orang-orang yang
bersyukur tatkala diberi nikmat, bersabar ketika
ditimpa musibah dan segera memohon ampunan
kepada Allah ketika terjerumus dalam dosa. Inilah
tiga tanda kebahagiaan dan tanda keberuntungan
seorang hamba di dunia dan akhiratnya. Seorang
hamba senantiasa akan berputar pada tiga kondisi
ini. (Al Wabilush Shoyib, hal.11, Asy Syamilah)
Inilah tiga tanda bahagia:
1. Bersyukur ketika diberi nikmat.
2. Bersabar ketika ditimpa musibah (cobaan).
3. Memohon ampun pada Allah ketika telah
terjerumus dalam dosa.
Manusia akan selalu berputar dalam tiga kondisi
ini. Pasti Anda pun ingin bahagia.
Aritikel: http://rumaysho.com

Faedah Tafsir Surah Al-Kafirun

Segala puji bagi Allah, Rabb yang berhak
disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Pada kesempatan kali ini, kita akan mempelajari
tafsir surat Al Kafirun dan menarik faedah
berharga di dalamnya. Semoga manfaat.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ )1( لَا
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ )2( وَلَا
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ )3( وَلَا
أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ )4( وَلَا
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ )5(
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ )6(
“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan
aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang
kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku.” (QS. Al Kaafirun: 1-6)
Surat ini adalah surat Makkiyah (yang turun
sebelum hijroh).
Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Membaca Surat Al Kaafirun
Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia mengatakan,
كَانَ يَقْرَأُ فِى الرَّكْعَتَيْنِ )قُلْ
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ( وَ )قُلْ يَا أَيُّهَا
الْكَافِرُونَ(
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca
di shalat dua raka’at thowaf yaitu surat Qul
Huwallahu Ahad (Al Ikhlas) dan surat Qul Yaa
Ayyuhal Kaafirun (Al Kaafirun). ” (HR. Muslim no.
1218)
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
قَرَأَ فِى رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ )قُلْ يَا
أَيُّهَا الْكَافِرُونَ( وَ )قُلْ هُوَ
اللَّهُ أَحَدٌ(
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
membaca di dua raka’at sunnah Fajr (Qobliyah
Shubuh) yaitu surat Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun (Al
Kaafirun) dan surat Qul Huwallahu Ahad (Al Ikhlas)
. ” (HR. Muslim no. 726)
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
رَمَقْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعًا
وَعِشْرِينَ مَرَّةً ، أَوْ خَمْسًا
وَعِشْرِينَ مَرَّةً يَقْرَأُ فِي
الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
وَبَعْدَ الْمَغْرِبِ }قُلْ يَا أَيُّهَا
الْكَافِرُونَ{ ، }وَقُلْ هُوَ اللَّهُ
أَحَدٌ{.
“Saya melihat Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam
shalat sebanyak dua puluh empat atau dua puluh
lima kali. Yang beliau baca pada dua rakaat
sebelum shalat subuh dan dua rakaat setelah
maghrib adalah surat Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun
(Al Kaafirun) dan surat Qul Huwallahu Ahad (Al
Ikhlas). ” (HR. Ahmad 2/95. Syaikh Syu;aib Al
Arnauth mengatakan, sanad hadits ini shahih
sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Isi Surat Al Kaafirun
Surat ini berisi ajaran berlepas diri dari amalan
yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Surat
ini berisi perintah untuk ikhlas dalam melakukan
amalan (yaitu murni ditujukan pada Allah semata).
Tafsir Surat Al Kaafirun
Firman Allah Ta’ala,
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir”. Ayat ini
sebenarnya ditujukan pada orang-orang kafir di
muka bumi ini. Akan tetapi, konteks ayat ini
membicarakan tentang kafir Quraisy.
Mengenai surat ini, ada ulama yang menyatakan
bahwa karena kejahilan orang kafir Quraisy,
mereka mengajak Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk beribadah kepada berhala mereka
selama satu tahun, lalu mereka akan bergantian
beribadah kepada sesembahan Rasul shallallahu
‘ alaihi wa sallam (yaitu Allah Ta’ala) selama
setahun pula. Akhirnya Allah Ta’ala pun
menurunkan surat ini. Allah memerintahkan
kepada Rasul-Nya untuk berlepas diri dari agama
orang-orang musyrik tersebut secara total.
Yang dimaksud dengan ayat,
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah”, yaitu berhala dan tandingan-tandingan
selain Allah.
Maksud firman Allah selanjutnya,
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
“Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah”, yaitu yang aku sembah adalah Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Allah Ta’ala firmankan selanjutnya,
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah”, maksudnya adalah aku
tidak akan beribadah dengan mengikuti ibadah
yang kalian lakukan, aku hanya ingin beribadah
kepada Allah dengan cara yang Allah cintai dan
ridhoi.
Oleh karena itu selanjutnya Allah Ta’ala
mengatakan kembali,
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
“Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah”,
maksudnya adalah kalian tidak akan mengikuti
perintah dan syari ’at Allah dalam melakukan
ibadah, bahkan yang kalian lakukan adalah
membuat-buat ibadah sendiri yang sesuai selera
hati kalian. Hal ini sebagaimana Allah firmankan,
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا
تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ
مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-
sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu
mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk
kepada mereka dari Tuhan mereka. ” (QS. An
Najm: 23)
Ayat-ayat ini secara jelas menunjukkan berlepas
diri dari orang-orang musyrik dari seluruh bentuk
sesembahan yang mereka lakukan.
Seorang hamba seharusnya memiliki
sesembahan yang ia sembah. Ibadah yang ia
lakukan tentu saja harus mengikuti apa yang
diajarkan oleh sesembahannya. Rasul shallallahu
‘ alaihi wa sallam dan para pengikutnya
menyembah Allah sesuai dengan apa yang Allah
syariatkan. Inilah konsekuensi dari kalimat Ikhlas
“ Laa ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah”.
Maksud kalimat yang agung ini adalah “tidak ada
sesembahan yang berhak diibadahi melainkan
Allah, dan jalan cara untuk melakukan ibadah
tersebut adalah dengan mengikuti ajaran Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Orang-orang
musyrik melakukan ibadah kepada selain Allah,
padahal tidak Allah izinkan. Oleh karena itu Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada
mereka,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Maksud ayat ini sebagaimana firman Allah,
وَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ لِي عَمَلِي
وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ بَرِيئُونَ
مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا
تَعْمَلُونَ
“Jika mereka mendustakan kamu, maka
katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan bagimu
pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa
yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri
terhadap apa yang kamu kerjakan. ” (QS. Yunus:
41)
لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ
أَعْمَالُكُمْ
“Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-
amal kamu.” (QS. Asy Syura: 15)
Imam Al Bukhari mengatakan,
) لَكُمْ دِينُكُمْ ( الْكُفْرُ . ) وَلِىَ
دِينِ ( الإِسْلاَمُ وَلَمْ يَقُلْ
دِينِى ، لأَنَّ الآيَاتِ بِالنُّونِ
فَحُذِفَتِ الْيَاءُ كَمَا قَالَ
يَهْدِينِ وَيَشْفِينِ . وَقَالَ غَيْرُهُ
) لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ( الآنَ ،
وَلاَ أُجِيبُكُمْ فِيمَا بَقِىَ مِنْ
عُمُرِى ) وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا
أَعْبُدُ ( . وَهُمُ الَّذِينَ قَالَ
) وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
طُغْيَانًا وَكُفْرًا (
“Lakum diinukum”, maksudnya bagi kalian
kekafiran yang kalian lakukan. “Wa liya diin”,
maksudnya bagi kami agama kami. Dalam ayat ini
tidak disebut dengan ( دِينِى) karena kalimat
tersebut sudah terdapat huruf “nuun”, kemudian
“yaa” dihapus sebagaimana hal ini terdapat pada
kalimat (يَهْدِينِ) atau (يَشْفِينِ). Ulama
lain mengatakan bahwa ayat ( لاَ أَعْبُدُ مَا
تَعْبُدُونَ), maksudnya adalah aku tidak
menyembah apa yang kalian sembah untuk saat
ini. Aku juga tidak akan memenuhi ajakan kalian di
sisa umurku (artinya: dan seterusnya aku tidak
menyembah apa yang kalian sembah),
sebagaimana Allah katakan selanjutnya ( وَلاَ
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ). Mereka
mengatakan,
وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
طُغْيَانًا وَكُفْرًا
“Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah
kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di
antara mereka. ” (QS. Al Maidah: 64). Demikian
yang disebutkan oleh Imam Al Bukhari.
Mengenai Ayat Yang Berulang dalam Surat
Ini
Mengenai firman Allah yang berulang dalam surat
ini yaitu pada ayat,
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ )2( وَلَا
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ )3( وَلَا
أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ )4( وَلَا
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ )5(
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan
yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan
yang aku sembah. ”
Ada tiga pendapat dalam penafsiran ayat ini:
Tafsiran pertama: Menyatakan bahwa maksud
ayat tersebut adalah untuk penguatan makna
(ta ’kid). Pendapat ini dinukil oleh Ibnu Jarir dari
sebagian pakar bahasa. Yang semisal dengan ini
adalah firman Allah Ta ’ala,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا )5( إِنَّ
مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا )6(
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan. ” (QS. Alam Nasyroh: 5-6)
Begitu pula firman Allah Ta’ala,
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ )6( ثُمَّ
لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ )7(
“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka
Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar
akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. ” (QS. At
Takatsur: 6-7)
Tafsiran kedua: Sebagaimana yang dipilih oleh
Imam Bukhari dan para pakar tafsir lainnya,
bahwa yang dimaksud ayat,
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ )2( وَلَا
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan
yang aku sembah. ” Ini untuk masa lampau.
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ )4(
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
)5(
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku
sembah. ” Ini untuk masa akan datang.
Tafsiran ketiga: Yang dimaksud dengan ayat,
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
“Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah.” Yang dinafikan (ditiadakan di sini) adalah
perbuatan (menyembah selain Allah) karena
kalimat ini adalah jumlah fi ’liyah (kalimat yang
diawali kata kerja).
Sedangkan ayat,
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah.” Yang dimaksudkan di sini
adalah penafian (peniadaan) menerima
sesembahan selain Allah secara total. Di sini bisa
dimaksudkan secara total karena kalimat tersebut
menggunakan jumlah ismiyah (kalimat yang
diawali kata benda) dan ini menunjukkan ta ’kid
(penguatan makna). Sehingga seakan-akan yang
dinafikan dalam ayat tersebut adalah perbuatan
(menyembah selain Allah) dan ditambahkan tidak
menerima ajaran menyembah selain Allah secara
total. Yang dimaksud ayat ini pula adalah
menafikan jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mungkin sama sekali menyembah selain
Allah. Tafsiran yang terakhir ini pula adalah tafsiran
yang bagus. Wallahu a ’lam.
Faedah Berharga dari Surat Al Kafirun
1. Dalam ayat ini dijelaskan adanya penetapan
aqidah meyakini takdir Allah, yaitu orang kafir
ada yang terus menerus dalam kekafirannya,
begitu pula dengan orang beriman.
2. Kewajiban berlepas diri (baro’) secara lahir
dan batin dari orang kafir dan sesembahan
mereka.
3. Adanya tingkatan yang berbeda antara orang
yang beriman dan orang kafir atau musyrik.
4. Ibadah yang bercampur kesyirikan (tidak
ikhlas), tidak dinamakan ibadah.
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush
sholihaat.
Referensi:
Aysarut Tafasir, Abu Bakr Jabir Al Jazairi
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah
Qurthubah
Taysir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir
As Sa’di, Muassasah Ar Risalah.
Artikel www.rumaysho.com

Rabu, 02 Juni 2010

Hidayah Milik ALLAH

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah
Ta’ala, mungkin kita sering berfikir, sudah banyak
sekali cara kita untuk menyadarkan seseorang
yang kita cintai, untuk merubah sifat seseorang
yang sangat disayangi. Akan tetapi, segala cara
dan upaya kita, ternyata tidak mampu untuk
merubahnya menjadi seseorang yang baik.
Sebenarnya apa yang salah dengan upaya kita,
bagaimanakah caranya agar kita dapat merubah
seseorang?
Mengenai hal ini, perlu kita ketahui, hidayah atau
petunjuk hanyalah milik Allah, bagaimana pun
upaya kita untuk merubah seseorang, bagaimana
pun kerja keras kita untuk menyadarkan
seseorang, maka itu tidak ada artinya jika Allah
tidak menghendaki hidayah kepadanya, orang
tersebut tidak akan berubah sampai Allah
memberikannya hidayah. Allah berfirman yang
artinya “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu
kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada
orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk.” (QS Al Qashash: 56).
Ibnu katsir mengatakan mengenai tafsir ayat ini,
“Allah mengetahui siapa saja dari hambanya yang
layak mendapatkan hidayah, dan siapa saja yang
tidak pantas mendapatkannya”.
Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin
menerangkan, “Hidayah di sini maknanya adalah
hidayah petunjuk dan taufik. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berikan hidayah ini kepada orang yang
pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu
yang dikaitkan dengan kehendak Allah Subhanahu
wa Ta ’ala, maka mesti mengikuti hikmah-Nya.”
Nabi Yang Mulia Sendiri Tidak Dapat
Memberi Hidayah Taufik
Turunnya ayat ini berkenaan dengan cintanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
pamannya Abu Tholib. Akan tetapi, segala cara
dan upaya yang dilakukan beliau untuk mengajak
pamannya kepada kebenaran, tidak sampai
membuat pamannya menggenggam Islam
sampai ajal menjemputnya. Seorang rosul yang
kita tahu kedudukannya di sisi Allah saja tidak
mampu untuk memberi hidayah kepada
pamannya, apalagi kita yang keimanannya sangat
jauh dibandingkan beliau.
Tidakkah kita melihat perjuangan Nabi Allah Nuh
di dalam menegakkan tauhid kepada umatnya?
Waktu yang mencapai 950 tahun tidak dapat
menjadikan umat nabi Nuh mendapatkan hidayah
Allah, bahkan untuk keturunannya sendiri pun ia
tidak dapat menyelamatkannya dari adzab, Allah
berfirman yang artinya “Dan Nuh memanggil
anaknya yang berada di tempat yang jauh,
‘Wahai anakku! Naiklah bahtera ini bersama kami
dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir’.
Dia berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung
yang akan menghindarkanku dari air bah. Nuh
berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi yang bisa
melindungi dari adzab Allah kecuali Dzat Yang
Maha Penyayang.’ Dan gelombang pun
menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak
itu termasuk orang-orang yang
ditenggelamkan.” (QS. Hud:42-43)
Melihat anaknya yang tenggelam, Nabi Nuh
berdoa (yang artinya),“Dan Nuh pun menyeru
Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku
termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-
Mu adalah janji yang benar, dan Engkau adalah
Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman,
‘Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk
keluargamu (yang diselamatkan), sesungguhnya
amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka
janganlah engkau meminta kepada-Ku sesuatu
yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya Aku
peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-
orang yang jahil.” (QS. Hud: 45-46)
Contoh lainnya adalah apa yang dialami oleh Nabi
Allah, Ibrohim. Berada ditengah-tengah orang-
orang yang menyekutukan Allah, ia termasuk
orang yang mendapat petunjuk. Allah dengan
mudahnya memberikan hidayah kepada
seseorang yang dikehendakinya, padahal tidak
ada seorang pun yang mengajarkan dan
menerangkan kebenaran kepadanya, Allah
berfirman yang artinya “Dan demikianlah Kami
perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda
keagungan yang ada di langit dan di bumi, agar
dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika
malam telah gelap, dia melihat bintang, lalu
berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi tatkala bintang itu
tenggelam, dia berkata, ‘Aku tidak suka pada yang
tenggelam’. Kemudian ketika dia melihat bulan
terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi setelah
bulan itu terbenam, dia berkata, ‘Sesungguhnya
jika Rabbku tidak memberi petunjuk padaku, pasti
aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian
tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata,
‘Inilah rabbku, ini lebih besar’. Tatkala matahari itu
terbenam, dia pun berkata, ‘Wahai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang
kalian persekutukan! Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang
menciptakan langit dan bumi dengan cenderung
kepada agama yang benar, dan aku bukanlah
termasuk orang-orang yang menyekutukan-
Nya’.” (QS. Al-An’am: 75-79)
Dari hal ini, sangat jelaslah bagi kita, hidayah
hanyalah milik Allah, dan Allah memberi hidayah
kepada orang yang dikehendakinya. Barangsiapa
yang Allah beri hidayah, tidak ada seorang pun
yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa
yang telah Allah sesatkan, tidak ada seorang pun
yang bisa memberi hidayah kepadanya. Allah
berfirman yang artinya “Allah memberikan
hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya
kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)
dan Allah berfirman yang artinya “Dan
barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak
ada baginya seorang pemberi petunjuk.” (QS. Az-
zumar:23).
Cara Menggapai Hidayah
Setelah mengetahui hal ini, lantas bagaimana
upaya kita untuk mendapatkan hidayah?
Bagaimana caranya membuat orang lain
mendapatkan hidayah?
Di antara sebab-sebab seseorang mendapatkan
hidayah adalah:
1. Bertauhid
Seseorang yang menginginkan hidayah Allah,
maka ia harus terhindar dari kesyirikan, karena
Allah tidaklah memberi hidayah kepada orang
yang berbuat syirik. Allah berfirman yang artinya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan
kesyirikan, mereka itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-an’am: 82).
2. Taubat kepada Allah
Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang
yang tidak bertaubat dari kemaksiatan, bagaimana
mungkin Allah memberi hidayah kepada
seseorang sedangkan ia tidak bertaubat? Allah
berfirman yang artinya “Sesungguhnya Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan
menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-
Nya”. (QS. Ar-Ra’d: 27).
3. Belajar agama
Tanpa ilmu (agama), seseorang tidak mungkin
akan mendapatkan hidayah Allah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya
“Jika Allah menginginkan kebaikan (petunjuk)
kepada seorang hamba, maka Allah akan
memahamkannya agama”. (HR Bukhori)
4. Mengerjakan apa yang diperintahkan dan
menjauhi hal yang dilarang
Kemaksiatan adalah sebab seseorang dijauhkan
dari hidayah. Allah berfirman yang artinya “Dan
sesungguhnya kalau mereka melaksanakan
pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah
hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan
lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau
demikian, pasti Kami berikan kepada mereka
pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami
tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (An-
nisa: 66-68).
5. Membaca Al-qur’an, memahaminya
mentadaburinya dan mengamalkannya
Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya Al
Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang lebih lurus”. (QS. Al-Isra:9).
6. Berpegang teguh kepada agama Allah
Allah berfirman yang artinya “Barangsiapa yang
berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka
sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada
jalan yang lurus.” (QS. Ali-Imron:101).
7. Mengerjakan sholat
Di antara penyebab yang paling besar seseorang
mendapatkan hidayah Allah adalah orang yang
senantiasa menjaga sholatnya, Allah berfirman
pada surat al-baqoroh yang artinya “Aliif laam
miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan
padanya dan merupakan petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa.”
Siapa mereka itu, dilanjutkan pada ayat setelahnya
“ yaitu mereka yang beriman kepada hal yang
ghoib, mendirikan sholat dan menafkahkah
sebagian rizki yang diberikan kepadanya” (QS. Al-
baqoroh:3).
8. Berkumpul dengan orang-orang sholeh
Allah berfirman yang artinya “Katakanlah: “Apakah
kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu
yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan
kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan
kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan
kembali ke belakang, sesudah Allah memberi
petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah
disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang
menakutkan; dalam keadaan bingung, dia
mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya
kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan):
“Marilah ikuti kami.” Katakanlah:”Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk;
dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada
Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am:72).
Ibnu katsir menafsiri ayat ini, “Ayat ini adalah
permisalan yang Allah berikan kepada teman
yang sholeh yang menyeru kepada hidayah Allah
dan teman yang jelek yang menyeru kepada
kesesatan, barangsiapa yang mengikuti hidayah,
maka ia bersama teman-teman yang sholeh, dan
barang siapa yang mengikuti kesesatan, maka ia
bersama teman-teman yang jelek. “
Dengan mengetahui hal tersebut, marilah kita
berupaya untuk mengerjakannya dan mengajak
orang lain untuk melakukan sebab-sebab ini,
semoga dengan jerih payah dan usaha kita dalam
menjalankannya dan mendakwahkannya menjadi
sebab kita mendapatkan hidayah Allah. Syaikh
Abdullah Al-bukhori mengatakan dalam khutbah
jum’atnya “Semakin seorang meningkatkan
ketaqwaannya kepada Allah, niscaya bertambah
hidayah padanya. Seorang hamba akan
senantiasa ditambah hidayahnya selama dia
senantiasa menambah ketaqwaannya. Semakin
dia bertaqwa, maka semakin bertambahlah
hidayahnya, sebaliknya semakin ia mendapat
hidayah/petunjuk, dia semakin menambah
ketaqwaannya. Sehingga dia senantiasa ditambah
hidayahnya selama ia menambah
ketaqwaannya.”
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah
kepada kita dan orang-orang yang ada disekeliling
kita, aamiin. Washallallahu ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
Artikel: http://muslim.or.id

Do'a di Teguhkan Hati dalam Ketaatan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Pada kesempatan kali ini kita masih melanjutkan
macam-macam do ’a yang singkat namun penuh
makna yang dibawakan oleh Imam An Nawawi
rahimahullah dalam kitab beliau Riyadhus Sholihin.
Semoga bermanfaat.
Do’a Agar Diteguhkan Hati dalam Ketaatan
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ
قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Allahumma mushorrifal quluub shorrif
quluubanaa ‘ala tho’atik” [Ya Allah, Dzat yang
memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada
ketaatan beribadah kepada-Mu!]
Dari 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash berkata
bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا
بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ
الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ
يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ
الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى
طَاعَتِكَ
"Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di
antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha
Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta'ala akan
memalingkan hati manusia menurut kehendak-
Nya." Setelah itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam berdoa; “Allahumma mushorrifal
quluub shorrif quluubanaa ‘ala tho’atik” [Ya Allah,
Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati
kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu!] (HR.
Muslim no. 2654). An Nawawi membawakan
hadits ini dalam bab, “Allah membolak-balikkan
hati sekehendak-Nya.”
Faedah hadits:
1. Hati manusia berada di antara dua jari dari
sekian jari Allah yang Maha Pemurah. Allah
memalingkan hati manusia tersebut sesuai
kehendak-Nya.
2. Jika sudah mengetahui demikian, maka
hendaklah setiap hamba rajin memohon pada
Allah agar diberi hidayah dan keistiqomahan
serta agar tidak menjauh dari jalan yang
lurus.
3. Jika seorang hamba bergantung dan
bersandar pada dirinya sendiri, tentu ia akan
binasa.
4. Hendaknya hamba menyerahkan segala
usahanya kepada Allah Ta ’ala dan janganlah ia
berpaling dari-Nya walaupun sekejap mata.
5. Hendaklah setiap hamba memohon kepada
Allah agar terus menerus diteguhkan hati
dalam ketaatan dan tidak sampai terjerumus
dalam maksiat atau kesesatan.
6. Di sini dikhususkan hati karena jika hati itu
baik, maka seluruh anggota badan lainnya
juga ikut baik.
Semoga do'a bisa kita amalkan. Semoga yang
singkat ini bermanfaat.
Referensi:
Bahjatun Naazhirin Syarh Riyadhish Sholihin,
Salim bin ‘Ied Al Hilali, cetakan Dar Ibnul Jauzi, jilid
II, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Syarh Riyadhish Sholihin, Syaikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, jilid
IV, cetakan ketiga, tahun 1424 H
Artikel: www.rumaysho.com

Do'a Berlindung Dari Hilangnya Nikmat dan Kesehatan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan para sahabatnya.
Satu do'a lagi yang ringkas namun penuh makna
dari kitab Riyadhus Sholihin An Nawawi, yaitu
do'a berlindung dari hilangnya nikmat dan
datangnya penyakit.
Dari 'Abdullah bin 'Umar, dia berkata, "Di antara
doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ
زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ
عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ
وَجَمِيعِ سَخَطِكَ
“ALLOOHUMMA INNII A'UUDZU BIKA MIN
ZAWAALI NI'MATIK, WA TAHAWWULI
'AAFIYATIK, WA FUJAA'ATI NIQMATIK, WA
JAMII'I SAKHOTHIK ” [Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan
yang telah Engkau berikan, dari berubahnya
kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari
siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari
segala kemurkaan-Mu]. (HR. Muslim no. 2739)
Faedah dari hadits di atas:
Pertama: Yang dimaksud nikmat di sini adalah
nikmat Islam, Iman, anugerah ihsan (berbuat baik)
dan kebajikan. Jadi dalam do ’a ini kita berlindung
dari hilangnya nikmat-nikmat tersebut. Makus
hilangnya nikmat adalah nikmat tersebut hilang
dan tanpa ada penggantinya.
Kedua: Yang dimaksud dengan berubahnya
kesehatan (‘afiyah) adalah nikmat sehat tersebut
berubah menjadi sakit. Yang dimaksud dengan
‘ afiyah (sehat) di sini adalah berpindahnya nikmat
‘afiyah dari pendengaran, penglihatan dan anggota
tubuh lainnya. Jadi do’a ini kita maksudkan
meminta selalu kesehatan (tidak berubah menjadi
penyakit) pada pendengaran, penglihatan dan
anggota tubuh lainnya.
Ketiga: Yang dimaksud fuja’ah adalah datang tiba-
tiba. Sedangkan “niqmah” adalah siksa dan
murka. Dalam do’a ini berarti kita berlindung pada
Allah dari datangnya ‘adzab, siksa dan murka
Allah yang tiba-tiba.
Keempat: Dalam do’a ini, kita juga meminta pada
Allah agar terlindung dari murka-Nya yaitu segala
hal yang dapat mengantarkan pada murka Allah.
Semoga do’a ini bisa kita amalkan dan
mendapatkan berbagai anugerah.
Referensi: ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud,
Al ‘Azhim Abadi, 4/283, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah,
Beirut, tahun 1415.
Artikel www.rumaysho.com

Selasa, 01 Juni 2010

Ucapan Salam, Amalan Mulia Yg Di Tinggalkan

Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu ‘ala
Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man
taabi'ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.
An Nawawi menyebutkan dalam Shohih Muslim
Bab ‘Di antara kewajiban seorang muslim adalah
menjawab salam’. Lalu dibawakanlah hadits dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
سِتٌّ «. قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ » إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ
عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ
وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ
وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ
فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ
وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ ».
“Hak muslim pada muslim yang lain ada enam.”
Lalu ada yang menanyakan, ”Apa saja keenam hal
itu?” Lantas beliau shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu,
ucapkanlah salam padanya, (2) Apabila engkau
diundang, penuhilah undangannya, (3) Apabila
engkau dimintai nasehat, berilah nasehat padanya,
(4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah
(mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia
(dengan mengucapkan ’yarhamukallah’), (5)
Apabila dia sakit, jenguklah dia, dan (6) Apabila dia
meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke
pemakaman). ” (HR. Muslim no. 2162)
Apakah hak-hak yang disebutkan di sini
adalah wajib?
Ash Shon’ani mengatakan, “Hadits ini
menunjukkan bahwa inilah hak muslim pada
muslim lainnya. Yang dimaksud dengan hak di
sini adalah sesuatu yang tidak pantas untuk
ditinggalkan. Hak-hak di sini ada yang hukumnya
wajib dan ada yang sunnah mu’akkad (sunnah
yang sangat ditekankan) yang sunnah ini sangat
mirip dengan wajib. ” (Subulus Salam, 7/7)
Hukum Memulai Mengucapkan dan
Membalas Salam
Jika kita melihat dari hadits di atas, akan terlihat
perintah untuk memulai mengucapkan salam
ketika bertemu saudara muslim kita yang lain.
Namun sebagaimana dinukil dari Ibnu ‘Abdil Barr
dan selainnya, mereka mengatakan bahwa
hukum memulai mengucapkan salam adalah
sunnah , sedangkan hukum membalas salam
adalah wajib. (Subulus Salam, 7/7)
Ucapkanlah Salam Kepada Orang yang
Engkau Kenali dan Tidak Engkau Kenali
Bukhari membawakan dalam kitab shohihnya Bab
‘ Mengucapkan salam kepada orang yang dikenal
maupun tidak dikenal’. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr
bahwasanya ada seseorang yang bertanya pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ » تُطْعِمُ
الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى
مَنْ عَرَفْتَ ، وَعَلَى مَنْ لَمْ
تَعْرِفْ »
“Amalan islam apa yang paling baik?” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab,
“Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan
mengucapkan salam kepada orang yang engkau
kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali.
” (HR. Bukhari no. 6236)
Bahkan mengucapkan salam kepada orang yang
dikenal saja, tidak mau mengucapkan salam
kepada orang yang tidak dikenal merupakan tanda
hari kiamat.
Bukhari mengeluarkan sebuah hadits dalam
Adabul Mufrod dengan sanad yang shohih dari
Ibnu Mas ’ud. Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dia
melewati seseorang, lalu orang tersebut
mengucapkan, “Assalamu ‘alaika, wahai Abu
‘Abdir Rahman.” Kemudian Ibnu Mas’ud
membalas salam tadi, lalu dia berkata,
إِنَّهُ سَيَأْتِي عَلَى النَّاس زَمَان
يَكُون السَّلَام فِيهِ لِلْمَعْرِفَةِ
“Nanti akan datang suatu masa, pada masa
tersebut seseorang hanya akan mengucapkan
salam pada orang yang dia kenali saja. ”
Begitu juga dikeluarkan oleh Ath Thohawiy, Ath
Thobroniy, Al Baihaqi dalam Asy Syu ’ab dengan
bentuk yang lain dari Ibnu Mas’ud . Hadits ini
sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
(baca: hadits marfu’). Lafazh hadits tersebut
adalah:
مِنْ أَشْرَاط السَّاعَة أَنْ يَمُرّ
الرَّجُل بِالْمَسْجِدِ لَا يُصَلِّي
فِيهِ ، وَأَنْ لَا يُسَلِّم إِلَّا عَلَى
مَنْ يَعْرِفهُ
“Di antara tanda-tanda (dekatnya) hari kiamat
adalah seseorang melewati masjid yang tidak
pernah dia shalat di sana, lalu dia hanya
mengucapkan salam kepada orang yang dia kenali
saja. ” (Lihat Fathul Bari, 17/458)
Ibnu Hajar mengatakan, “Mengucapkan salam
kepada orang yang tidak kenal merupakan tanda
ikhlash dalam beramal kepada Allah Ta ’ala, tanda
tawadhu’ (rendah diri) dan menyebarkan salam
merupakan syi’ar dari umat ini.” (Lihat Fathul Bari,
17/459)
Dan tidak tepat berdalil dengan hadits di atas untuk
memulai mengucapkan salam pada orang kafir
karena memulai salam hanya disyari’atkan bagi
sesama muslim. Jika kita tahu bahwa orang
tersebut muslim, maka hendaklah kita
mengucapkan salam padanya. Atau mungkin
dalam rangka hati-hati, kita juga tidak terlarang
memulai mengucapkan salam padanya sampai
kita mengetahui bahwa dia itu kafir. (Lihat Fathul
Bari, 17/459)
Mengucapkan Salam dapat Mencapai
Kesempurnaan Iman
Dari ‘Amar bin Yasir, beliau mengatakan,
ثَلاَثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ
الإِيمَانَ الإِنْصَافُ مِنْ نَفْسِكَ ،
وَبَذْلُ السَّلاَمِ لِلْعَالَمِ ،
وَالإِنْفَاقُ مِنَ الإِقْتَارِ
“Tiga perkara yang apabila seseorang memiliki
ketiga-tiganya, maka akan sempurna imannya: [1]
bersikap adil pada diri sendiri, [2] mengucapkan
salam pada setiap orang, dan [3] berinfak ketika
kondisi pas-pasan. ” (Diriwayatkan oleh Bukhari
secara mu’allaq yaitu tanpa sanad. Syaikh Al
Albani dalam Al Iman mengatakan bahwa hadits
ini shohih)
Ibnu Hajar mengatakan, “Memulai mengucapkan
salam menunjukkan akhlaq yang mulia,
tawadhu ’ (rendah diri), tidak merendahkan orang
lain, juga akan timbul kesatuan dan rasa cinta
sesama muslim. ” (Fathul Bari, 1/46)
Saling Mengucapkan Salam akan
Menimbulkan Rasa Cinta
Mengucapkan salam merupakan sebab
terwujudnya kesatuan hati dan rasa cinta di antara
sesama muslim sebagaimana kenyataan yang kita
temukan (Huquq Da ’at Ilaihal Fithroh, 46). Dalil
yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى
تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى
تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى
شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ
تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ
بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian
beriman. Kalian tidak akan beriman sampai kalian
saling mencintai. Maukah aku tunjukkan pada
kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya
kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di
antara kalian. ” (HR. Muslim no. 54)
Siapa yang Seharusnya Mendahului Salam?
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِى ،
وَالْمَاشِى عَلَى الْقَاعِدِ ،
وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ
“Hendaklah orang yang berkendaraan memberi
salam pada orang yang berjalan. Orang yang
berjalan memberi salam kepada orang yang
duduk. Rombongan yang sedikit memberi salam
kepada rombongan yang banyak. ” (HR. Bukhari
no. 6233 dan Muslim no 2160)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
يُسَلِّمُ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ ،
وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ ،
وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ
“Yang muda hendaklah memberi salam pada
yang tua. Yang berjalan (lewat) hendaklah
memberi salam kepada orang yang duduk. Yang
sedikit hendaklah memberi salam pada orang
yang lebih banyak. ” (HR. Bukhari no. 6231)
Ibnu Baththol mengatakan, “Dari Al Muhallab,
disyari’atkannya orang yang muda mengucapkan
salam pada yang tua karena kedudukan orang
yang lebih tua yang lebih tinggi. Orang yang
muda ini diperintahkan untuk menghormati dan
tawadhu ’ di hadapan orang yang lebih
tua.” (Subulus Salam, 7/31)
Jika orang yang bertemu sama-sama memiliki
sifat yang sama yaitu sama-sama muda, sama-
sama berjalan, atau sama-sama berkendaraan
dengan kendaraan yang jenisnya sama, maka di
antara kedua pihak tersebut sama-sama
diperintahkan untuk memulai mengucapkan
salam. Yang mulai mengucapkan salam, itulah
yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الْمَاشِيَانِ إِذَا اجْتَمَعَا
فَأَيُّهُمَا بَدَأَ بِالسَّلاَمِ فَهُوَ
أَفْضَلُ
“Dua orang yang berjalan, jika keduanya bertemu,
maka yang lebih dulu memulai mengucapkan
salam itulah yang lebih utama. ” (Diriwayatkan oleh
Bukhari dalam Adabul Mufrod dan Al Baihaqi
dalam Sunannya. Syaikh Al Albani dalam Shohih
Adabil Mufrod mengatakan bahwa hadits ini
shohih)
Namun jika orang yang seharusnya
mengucapkan salam pertama kali tidak memulai
mengucapkan salam, maka yang lain hendaklah
memulai mengucapkan salam agar salam
tersebut tidak ditinggalkan. Jadi ketika ini,
hendaklah yang tua memberi salam pada yang
muda, yang sedikit memberi salam pada yang
banyak, dengan tujuan agar pahala mengucapkan
salam ini tetap ada. (Huquq Da’at Ilaihal Fithroh,
47)
Jika yang Diberi Salam adalah Jama’ah
Jika yang diberi salam adalah jama’ah (banyak
orang), maka hukum menjawab salam adalah
fardhu kifayah jika yang lain telah menunaikannya.
Jika jama ’ah diberi salam, lalu hanya satu orang
yang membalasnya, maka yang lain gugur
kewajibannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُجْزِئُ عَنِ الْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوا
أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ وَيُجْزِئُ
عَنِ الْجُلُوسِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ
“Sudah cukup bagi jama’ah (sekelompok orang),
jika mereka lewat, maka salah seorang dari
mereka memberi salam dan sudah cukup salah
seorang dari sekelompok orang yang duduk
membalas salam tersebut. ” (HR. Abu Daud no.
5210. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shohih). Dan sebagaimana dijelaskan oleh Ash
Shon ’ani bahwa hukum jama’ah (orang yang
jumlahnya banyak) untuk memulai salam adalah
sunnah kifayah (jika satu sudah mengucapkan,
maka yang lain gugur kewajibannya). Namun, jika
suatu jama ’ah diberi salam, maka membalasnya
dihukumi fardhu kifayah. (Subulus Salam, 7/8)
Balaslah Salam dengan Yang Lebih Baik atau
Minimal dengan Yang Semisal
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ
فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ
رُدُّوهَا
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan
sesuatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan
yang serupa). ” (QS. An Nisa’: 86)
Bentuk membalas salam di sini boleh dengan
yang semisal atau yang lebih baik, dan tidak boleh
lebih rendah dari ucapan salamnya tadi.
Contohnya di sini adalah jika saudara kita
memberi salam: Assalaamu ‘alaikum, maka
minimal kita jawab: Wa’laikumus salam. Atau
lebih lengkap lagi dan ini lebih baik, kita jawab
dengan: Wa ’alaikumus salam wa rahmatullah,
atau kita tambahkan lagi: Wa’alaikumus salam wa
rahmatullah wa barokatuh. Begitu pula jika kita
diberi salam: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah,
maka minimal kita jawab: Wa’alaikumus salam wa
rahmatullahi, atau jika ingin melengkapi, kita
ucapkan: Wa ’alaikumus salam wa rahmatullahi wa
barokatuh. Ini di antara bentuknya.
Bentuk lainnya adalah jika kita diberi salam dengan
suara yang jelas, maka hendaklah kita jawab
dengan suara yang jelas, dan tidak boleh dibalas
hanya dengan lirih.
Begitu juga jika saudara kita memberi salam
dengan tersenyum dan menghadapkan wajahnya
pada kita, maka hendaklah kita balas salam
tersebut sambil tersenyum dan menghadapkan
wajah padanya. Inilah di antara bentuk membalas.
Hendaklah kita membalas salam minimal sama
dengan salam pertama tadi, begitu juga dalam
tata cara penyampaiannya. Namun, jika kita ingin
lebih baik dan lebih mendapatkan keutamaan,
maka hendaklah kita membalas salam tersebut
dengan yang lebih baik, sebagaimana yang kami
contohkan di atas. (Lihat penjelasan ini di Syarh
Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh
Al Utsaimin pada Bab ‘Al Mubadaroh ilal Khiyarot)
Peringatan
Hendaklah jika kita memberi salam (terutama
melalui sms, email, surat, beri comment),
janganlah ucapan salam tersebut kita ringkas
menjadi: Ass. atau Ass.wr.wb. atau yang lainnya.
Bentuk semacam ini bukanlah salam. Salam
seharusnya tidak disingkat. Seharusnya jika ingin
mengirimkan pesan singkat, maka hendaklah kita
tulis: Assalamu ’alaikum. Itu lebih baik daripada jika
kita tulis: Ass., tulisan yang terakhir ini tidak ada
maknanya dan bukanlah salam. Salam adalah
bentuk do ’a yang sangat bagus dan baik, kenapa
kita harus menyingkat-nyingkat [?] Kenapa tidak
kita tulis lengkap, bukankah itu lebih baik dan lebih
utama [?] Janganlah kita dikepung dengan sikap
malas ketika ingin berbuat baik, ubahlah sikap
semacam ini dengan menulis salam lebih lengkap.
Jika salam tersebut melalui tulisan, sms, email dan
sebagainya, maka hendaklah kita yang membaca
salam tersebut, juga membalasnya dengan ditulis
secara lengkap dan jangan disingkat-singkat.
Itulah peringatan dari kami. Kami ingatkan
demikian karena salam adalah do ’a yang sangat
baik sekali. Para ulama menjelaskan bahwa As
Salam itu termasuk nama Allah. Sehingga jika kita
mengucapkan Assalamu ’alaikum, maka ini berarti
kita mendo’akan saudara kita agar dia selalu
mendapat penjagaan dari Allah Ta’ala. Ada juga
sebagian ulama mengartikan bahwa As Salam
dengan keselamatan. Sehingga jika kita
mengucapkan Assalamu ’alaikum, maka ini berarti
kita mendo’akan saudara kita agar dia
mendapatkan keselamatan dalam masalah agama
ataupun dunianya. Jadi makna salam yang
terakhir ini berarti kita mendo ’akan agar saudara
kita mendapatkan keselamatan dari berbagai
macam kerancuan dalam agama, selamat dari
syahwat yang menggelora, juga agar diberi
kesehatan, terhindar dari berbagai macam
penyakit, dan bentuk keselamatan lainnya. Dengan
demikian, salam adalah bentuk do ’a yang sangat
bagus sekali.
Oleh karena itu, hendaklah kita selalu
menyebarkan syiar salam ini ketika bertemu
saudara kita, ketika berjalan, dan dalam setiap
kondisi. Hendaklah pula kita mengucapkan salam
kepada orang yang kita kenali ataupun tidak. Dan
dalam menulis sms atau email, hendaklah kita
juga gemar menyebarkan syiar Islam yang satu
ini. Semoga Allah memudahkan kita untuk
mengamalkan yang satu ini dan semoga pelajaran
yang kami sampaikan ini adalah di antara ilmu
yang bermanfaat bagi diri kami dan pembaca
sekalian. Insya Allah, pembahasan ini masih kami
lengkapi lagi pada posting-posting selanjutnya.
Mudah-mudahan Allah memudahkan urusan ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat. Allahumman fa’ana bimaa ‘allamtana,
wa ‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi
wa shohbihi wa sallam.
Referensi:
Subulus Salam, Ash Shon’ani, Mawqi’ Al Islam,
Asy Syamilah
Huquq Da ’at Ilaihal Fithroh, Syaikh Muhammad
bin Sholeh Al Utsaimin, Darul Istiqomah
Fathul Bari, Ibnu Hajar, Mawqi ’ Al Islam, Asy
Syamilah
Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al Utsaimin, Asy Syamilah

Hati-hati dgn Lisan

Saudaraku, seringkali lisan ini tergelincir
mengucapkan kata-kata kotor, mencela orang lain,
membicarakan orang lain padahal dia tidak senang
untuk diceritakan, bahkan seringkali lisan ini
mengucapkan kata-kata yang mengandung
kesyirikan dan kekufuran.
Harusnya setiap muslim mengoreksi diri dalam
setiap tingkah lakunya, apalagi dalam perkara
lisannya, yang begitu enteng mengucapkan
sesuatu karena keluar dari lidah yang tak
bertulang.
Ingatlah saudaraku, setiap yang kita ucapkan,
mencakup perkataan yang baik, yang buruk juga
yang sia-sia akan selalu dicatat oleh malaikat yang
setiap saat mengawasi kita. Seharusnya kita selalu
merenungkan ayat berikut agar tidak
serampangan mengeluarkan kata-kata dari lisan
ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Tiada
suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan
ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu
hadir. ” (QS. Qaaf [50] : 18). Ucapan dalam ayat ini
bersifat umum. Oleh karena itu, bukan perkataan
yang baik dan buruk saja yang akan dicatat oleh
malaikat, tetapi termasuk juga kata-kata yang tidak
bermanfaat atau sia-sia. (Lihat Tafsir Syaikh Ibnu
Utsaimin pada Surat Qaaf)
Kita dapat melihat contoh ulama yang selalu
menjaga lisannya bahkan sampai dalam keadaan
sakit. Imam Ahmad pernah didatangi oleh
seseorang dan beliau dalam keadaan sakit.
Kemudian beliau merintih karena sakit yang
dideritanya. Lalu ada yang berkata kepadanya
(yaitu Thowus, seorang tabi’in yang terkenal),
“Sesungguhnya rintihan sakit juga dicatat (oleh
malaikat).” Setelah mendengar nasehat itu, Imam
Ahmad langsung diam, tidak merintih. Beliau takut
jika merintih sakit, rintihannya tersebut akan
dicatat oleh malaikat. (Silsilah Liqo ’at Al Bab Al
Maftuh, 11/5)
Lihatlah saudaraku, bentuk rintihan seperti ini saja
dicatat oleh malaikat, apalagi ketergelinciran lisan
yang lebih dari itu.
Ibnu Mas'ud mengatakan, "Tidak ada yang lebih
pantas dipenjara dalam waktu yang lama
melainkan lisanku ini." (Mukhtashor Minhajil
Qoshidin, hal. 165, Maktabah Darul Bayan)
Di Antara Ketergilincaran Lisan
[Pertama] Mencela Makhluk yang Tidak
Dapat Berbuat Apa-apa
Misalnya dengan mengatakan, ‘Bencana ini bisa
terjadi karena bulan ini adalah bulan Suro’ atau
mengatakan ‘Sialan! Gara-gara angin ribut ini, kita
gagal panen’ atau dengan mengatakan pula,
‘Aduh!! hujan lagi, hujan lagi’.
Lidah ini begitu mudah mengucapkan perkataan
seperti ini. Padahal makhluk yang kita cela tersebut
tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas
kehendak Allah. Mencaci waktu, angin, dan hujan,
pada dasarnya telah mencaci, mengganggu dan
menyakiti yang telah menciptakan dan mengatur
mereka yaitu Allah Ta ’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah
Ta'ala berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia
mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah
pemilik dan pengatur masa. Aku-lah yang
mengatur malam dan siang menjadi silih
berganti ’.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.”
(HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih)
[Kedua] Seringnya Berdusta
Hal ini juga sering dilakukan oleh kita saat ini.
Dalam mu ’amalah saja seringkali seperti itu.
Hanya ingin mendapat untung yang besar,
seorang tukang bangunan rela berdusta. Harga
semennya sebenarnya 30 ribu, namun tukang
tersebut mengatakan pada juragannya bahwa
harganya 40 ribu.
Begitu juga dalam mendidik anak, seringkali juga
muncul perkataan dusta. Ketika seorang anak
merengek, menangis terus-terusan. Untuk
mendiamkannya, sang Ibu spontan mengatakan,
“ Iya, iya, nanti Mama akan belikan coklat di
warung. Sekarang jangan nangis lagi.” Setelah
anaknya diam, ibunya malah tidak memberikan
dia apa-apa. Kelakuan ibu ini juga secara tidak
langsung telah mengajarkan anaknya untuk
berdusta. Jadi jangan salahkan anaknya, jika
dewasa nanti, anaknya malah yang sering
membohongi orang tuanya.
Saudaraku, bentuk pertama dan kedua ini sama-
sama berkata dusta. Ingatlah bahwa perbuatan
semacam ini termasuk ciri-ciri kemunafikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tanda orang munafik itu ada tiga : jika berkata,
dia dusta; jika berjanji, dia menyelisinya; dan jika
diberi amanat, dia berkhianat. ” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Inilah di antara dua bentuk ketergelinciran lisan
dan masih banyak sekali bentuk yang lainnya.
Berpikirlah Sebelum Berucap
Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum
berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan
dilempar ke neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang
hamba yang berbicara dengan suatu perkataan
yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu,
sehingga membuatnya dilempar ke neraka
dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak
antara timur dan barat. ” (HR. Muslim)
Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah
dalam Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini
mengatakan, ”Ini merupakan dalil yang
mendorong setiap orang agar selalu menjaga
lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam juga bersabda, ‘Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang
baik dan jika tidak maka diamlah. ’ (HR. Bukhari
dan Muslim). Oleh karena itu, selayaknya setiap
orang yang berbicara dengan suatu perkataan
atau kalimat, hendaknya merenungkan dalam
dirinya sebelum berucap. Jika memang ada
manfaatnya, maka dia baru berbicara. Namun jika
tidak, hendaklah dia menahan lisannya. ”
Itulah manusia, dia menganggap perkataannya
seperti itu tidak apa-apa, namun di sisi Allah itu
adalah suatu perkara yang bukan sepele. Allah
Ta ’ala berfirman, “Kamu menganggapnya suatu
yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah
adalah besar. ” (QS. An Nur [24] : 15)
Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-
orang biasa menganggap perkara ini ringan.
Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah
besar.
Dengan Lisan, Seseorang Bisa Ditinggikan
Derajatnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara
dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan
lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan
perkataannya itu. ” (HR. Bukhari)
Ketinggian derajat di sini bisa diperoleh jika lisan
selalu diarahkan pada perkara kebaikan, di
antaranya dengan berdo ’a, membaca Al Qur’an,
berdakwah di jalan Allah, mengajarkan orang lain
di majelis ilmu dan lain sebagainya. Atau dengan
kata lain, ketinggian derajat tersebut bisa diperoleh
dengan mengarahkan lisan pada perkara-perkara
yang Allah ridhoi. (Lihat Nashihatu Linnisa ’, hal. 20)
Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk
menjaga lisan ini dan mengarahkannya kepada
hal-hal yang dirihoi oleh Allah. Amin Ya Mujibad
Da ’awat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihat.

Sumber: http://rumaysho.com/

Liang Kubur Awal Perjalana Kita Di Akhirat

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وكفى والصلاة والسلام على نبيه
المصطفى، أما بعد
Khalifah kaum muslimin yang keempat Utsman
bin Affan radhiyallahu ’anhu jika melihat
perkuburan beliau menangis mengucurkan air
mata hingga membasahi jenggotnya.
Suatu hari ada seorang yang bertanya:
تذكر الجنة والنار ولا تبكي وتبكي من هذا؟
“Tatkala mengingat surga dan neraka engkau
tidak menangis, mengapa engkau menangis
ketika melihat perkuburan ?” Utsman pun
menjawab, “Sesungguhnya aku pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إن القبر أول منازل الآخرة فإن نجا منه فما
بعده أيسر منه وإن لم ينج منه فما بعده أشد
منه
“Sesungguhnya liang kubur adalah awal
perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari
(siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan
lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari
(siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan
lebih kejam. ” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “hasan
gharib”. Syaikh al-Albani menghasankannya
dalam Misykah al-Mashabih)
Bagaimanakah perjalanan seseorang jika ia telah
masuk di alam kubur? Hadits panjang al-Bara ’ bin
‘Azib yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-
Albani menceritakan perjalanan para manusia di
alam kuburnya:
Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah
seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari golongan Anshar. Sesampainya di
perkuburan, liang lahad masih digali. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk
(menanti) dan kami juga duduk terdiam di
sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada
burung gagak yang hinggap. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memainkan sepotong
dahan di tangannya ke tanah, lalu beliau
mengangkat kepalanya seraya bersabda,
“ Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab
kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Seandainya seorang yang beriman
sudah tidak lagi menginginkan dunia dan telah
mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah
dari langit para malaikat yang bermuka cerah
secerah sinar matahari. Mereka membawa kain
kafan dan wewangian dari surga lalu duduk di
sekeliling mukmin tersebut sejauh mata
memandang. Setelah itu turunlah malaikat
pencabut nyawa dan mengambil posisi di arah
kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut
nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa yang mulia
keluarlah engkau untuk menjemput ampunan
Allah dan keridhaan-Nya ’. Maka nyawa itu
(dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin
tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari
mulut sebuah kendil. Lalu nyawa tersebut diambil
oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap
mata diserahkan kepada para malaikat yang
berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan
surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga
terciumlah bau harum seharum wewangian yang
paling harum di muka bumi.
Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat
ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di
langit mereka bertanya, ‘Nyawa siapakah yang
amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’,
jawab para malaikat yang mengawalnya dengan
menyebutkan namanya yang terbaik ketika di
dunia. Sesampainya di langit dunia mereka
meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan.
Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut
mengantarkannya menuju langit berikutnya.
Hingga mereka sampai di langit ketujuh. Di
sanalah Allah berfirman, ‘Tulislah nama hambaku
ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke
(jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku
ciptakan mereka (para manusia), dan
kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta
darinyalah mereka akan Ku bangkitkan. ’
Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di
dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang
memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua
bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah
Allah’ jawabnya. Mereka berdua kembali
bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’
sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah
orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Beliau
adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”
jawabnya. ‘Dari mana engkau tahu?’ tanya
mereka berdua. ‘Aku membaca Al-Qur’an lalu aku
mengimaninya dan mempercayainya’. Tiba-tiba
terdengarlah suara dari langit yang menyeru,
‘ (Jawaban) hamba-Ku benar! Maka hamparkanlah
surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu
bukakanlah pintu ke arahnya ’. Maka
menghembuslah angin segar dan harumnya
surga (memasuki kuburannya) lalu kuburannya
diluaskan sepanjang mata memandang.
Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang
amat tampan memakai pakaian yang sangat
indah dan berbau harum sekali, seraya berkata,
‘ Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan
dulu bagimu’. Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah
engkau? Wajahmu menandakan kebaikan’. ‘Aku
adalah amal salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi
pun berkata, ‘Wahai Rabbku (segerakanlah
datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu
dengan keluarga dan hartaku.
Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan
tidak mengharapkan akhirat dan masih
menginginkan (keindahan) duniawi, turunlah dari
langit malaikat yang bermuka hitam sambil
membawa kain mori kasar. Lalu mereka duduk di
sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut
nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya
berkata, ‘Wahai nyawa yang hina keluarlah dan
jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’.
Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur
tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi
mencabut nyawa tersebut (dengan paksa),
sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji
yang menempel di kapas basah. Begitu nyawa
tersebut sudah berada di tangan malaikat
pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para
malaikat bermuka hitam yang ada di
sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus
dengan kain mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau
busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di
muka bumi.
Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka
melewati segerombolan malaikat mereka selalu
ditanya, ‘Nyawa siapakah yang amat hina ini?’, ‘Ini
adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka
dengan namanya yang terburuk ketika di dunia.
Sesampainya di langit dunia, mereka minta izin
untuk memasukinya, namun tidak diizinkan.
Rasulullah membaca firman Allah:
لا تفتح لهم أبواب السماء ولا يدخلون الجنة
حتى يلج الجمل في سم الخياط
“Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang
kafir) pintu-pintu langit dan mereka tidak akan
masuk surga, sampai seandainya unta bisa
memasuki lobang jarum sekalipun. ” (QS. Al-A’raf:
40)
Saat itu Allah berfirman, ‘Tulislah namanya di
dalam Sijjin di bawah bumi’, Kemudian nyawa itu
dicampakkan (dengan hina dina). Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman
Allah ta’ala:
وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأنَّمَا خَرَّ
مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ
أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ
سَحِيْقٍ
“Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan
Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit
lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan
angin ke tempat yang jauh. ” (QS. Al-Hajj: 31)
Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya,
hingga datanglah dua orang malaikat yang
mendudukannya seraya bertanya, ‘Siapakah
rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya.
Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah
agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya.
Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang
yang telah diutus untuk kalian?’ “Hah hah… aku
tidak tahu’ jawabnya. Saat itu terdengar seruan
dari langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan
neraka baginya dan bukakan pintu ke arahnya’.
Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun
bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di
‘ press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya
(pecah dan) menancap satu sama lainnya.
Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat
buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat
busuk, seraya berkata, ‘Aku datang membawa
kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang
telah dijanjikan bagimu ’. Orang kafir itu seraya
bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu
menandakan kesialan!’, ‘Aku adalah dosa-dosamu’
jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau
datangkan hari kiamat’ seru orang kafir tadi. (HR.
Ahmad dalam Al-Musnad (XXX/499-503) dan
dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak
(I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal.
156)
Itulah dua model kehidupan orang yang telah
masuk liang kubur. Jika kita menginginkan untuk
menjadi orang yang dibukakan baginya pintu ke
surga dan diluaskan liang kuburnya seluas mata
memandang maka mari kita berusaha untuk
memperbanyak untuk beramal saleh di dunia ini.
Suatu amalan tidak akan dianggap saleh hingga
memenuhi dua syarat:
1. Ikhlas
2. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
Banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang merupakan landasan dua syarat di atas.
Di antara dalil syarat pertama adalah firman Allah
ta ’ala:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, dan yang demikian itulah
agama yang lurus. ” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Di antara dalil syarat kedua adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan
yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka
amalan itu akan ditolak. ” (HR. Muslim dalam
Shahih-nya (III/1344 no 1718))
Allah menghimpun dua syarat ini dalam firman-
Nya di akhir surat Al-Kahfi:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ
إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو
لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا
صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ
رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadat kepada
Tuhannya. ” (QS. Al-Kahfi: 110)
Maka mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang
hanya sementara ini untuk benar-benar beramal
saleh. Semoga kelak kita mendapatkan
kenikmatan di alam kubur serta dihindarkan dari
siksaan di dalamnya, amin.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina
muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Tulisan ini terinspirasi dari kitab Majalis Al-
Mu ’minin Fi Mashalih Ad-Dun-Ya Wa Ad-Din Bi
Ightinam Mawasim Rabb Al-’Alamin, karya Fu’ad
bin Abdul Aziz asy-Syahlub (II/83-86)

http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/liang-kubur-awal-perjalanan-kita-di-akhirat.html

Senin, 31 Mei 2010

Kita Termasuk Yang Mana?

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
Di antara tanda kebahagiaan dan keberuntungan,
tatkala ilmu seorang hamba bertambah,
bertambah pulalah sikap tawadhu’ (rendah hati)
dan kasih sayang yang dimilikinya; setiap kali
bertambah amalnya, bertambah pula rasa takut
dan waspada di dalam dirinya [1]; tatkala
bertambah umurnya, berkuranglah
ketamakannya terhadap dunia; tiap kali hartanya
bertambah, kedermawanannya pun bertambah;
setiap kali kedudukan dan martabatnya
bertambah tinggi, maka bertambah pula
kedekatannya dengan manusia, dirinya akan
semakin memperhatikan kebutuhan mereka, dan
merendahkan diri di hadapan mereka.
Di antara tanda kebinasaan seorang, tatkala
ilmunya bertambah, bertambah pula
kesombongan dan keangkuhannya; tiap kali
amalnya bertambah, bertambahlah ‘ujub (bangga
diri) dalam dirinya, semakin meremehkan orang
lain, dan justru memandang baik dirinya; tatkala
umurnya bertambah, ketamakannya terhadap
dunia justru semakin bertambah; tiap kali
hartanya bertambah, bertambah pula sifat kikir
yang dimiliki; setiap kali kedudukan dan
martabatnya bertambah, bertambah pula
keangkuhan dan kecongkakannya.
Seluruh hal di atas merupakan cobaan dari Allah
yang diperuntukkan kepada para hamba-Nya. Di
antara mereka ada yang beruntung, sebagian
yang lain justru celaka.
Demikian pula dengan kemuliaan, seperti
kerajaan, kekuasaan, dan harta, semua adalah
cobaan. Allah ta ’ala berfirman,
فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ
قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي
لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ
)٤٠(
“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu
terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini
termasuk kurnia Rabb-ku untuk mencoba aku,
apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan
nikmat-Nya). ” (QS. An Naml: 40).
Demikian pula kenikmatan, semua adalah cobaan
dari-Nya sehingga akan nampak siapa yang
bersyukur dan siapa yang kufur (ingkar).
Sebagaimana musibah juga cobaan dari-Nya,
karena Dia menguji para hamba dengan berbagai
nikmat dan musibah.
Allah ta’ala berfirman,
فَأَمَّا الإنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاهُ
رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ
فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ )١٥(وَأَمَّا
إِذَا مَا ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ
رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ )١٦(
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya
lalu dirinya dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, Maka dia akan berkata: “Tuhanku
telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya
mengujinya lalu mempersempit rizkinya, maka
dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al
Fajr: 15-16).
Maksud dari ayat di atas, tidak setiap orang yang
Aku lapangkan rizkinya dan Aku beri kesenangan
duniawi, maka hal itu merupakan bentuk
pemuliaan-Ku terhadapnya. Dan tidak setiap
orang yang Aku persempit rizkinya dan Aku uji
dengan kemiskinan, maka hal itu merupakan
kehinaan baginya.
Waffaqaniyalahu wa iyyakum.
Diterjemahkan dari Fawaaidul Fawaaid hal.
403-404 muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/kita-termasuk-yang-mana….html

Obat Penenang Jiwa

Segala puji untuk Allah, Yang telah menurunkan
al-Qur ’an sebagai petunjuk dan obat bagi hamba-
hamba yang beriman. Salawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Imam orang-orang
yang bertakwa, yang telah menguraikan ayat-
ayat-Nya kepada segenap umatnya. Amma
ba ’du.
Saudaraku, sudah menjadi tabiat manusia bahwa
mereka menyukai sesuatu yang bisa
menyenangkan hati dan menentramkan jiwa
mereka. Oleh sebab itu, banyak orang rela
mengorbankan waktunya, memeras otaknya,
dan menguras tenaganya, atau bahkan kalau
perlu mengeluarkan biaya yang tidak kecil
jumlahnya demi meraih apa yang disebut sebagai
kepuasan dan ketenangan jiwa. Namun, ada
sebuah fenomena memprihatinkan yang sulit
sekali dilepaskan dari upaya ini. Seringkali kita
jumpai manusia memakai cara-cara yang dibenci
oleh Allah demi mencapai keinginan mereka.
Ada di antara mereka yang terjebak dalam jerat
harta. Ada yang terjebak dalam jerat wanita. Ada
yang terjebak dalam hiburan yang tidak halal. Ada
pula yang terjebak dalam aksi-aksi brutal atau
tindak kriminal. Apabila permasalahan ini kita
cermati, ada satu faktor yang bisa ditengarai
sebagai sumber utama munculnya itu semua. Hal
itu tidak lain adalah karena manusia tidak lagi
menemukan ketenangan dan kepuasan jiwa
dengan berdzikir dan mengingat Rabb mereka.
Padahal, Allah ta’ala telah mengingatkan hal ini
dalam ayat (yang artinya), “Orang-orang yang
beriman dan hati mereka bisa merasa tentram
dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya
dengan mengingat Allah maka hati akan merasa
tentram. ” (QS. ar-Ra’d: 28). Ibnul Qayyim
rahimahullah menyebutkan bahwa pendapat
terpilih mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini
adalah mengingat al-Qur’an. Hal itu disebabkan
hati manusia tidak akan bisa merasakan
ketentraman kecuali dengan iman dan keyakinan
yang tertanam di dalam hatinya. Sementara iman
dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan
menyerap bimbingan al-Qur ’an (lihat Tafsir al-
Qayyim, hal. 324)
Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Dzikir merupakan
sebuah kelezatan bagi hati orang-orang yang
mengerti. ” Demikian juga Malik bin Dinar
mengatakan, “Tidaklah orang-orang yang
merasakan kelezatan bisa merasakan
sebagaimana kelezatan yang diraih dengan
mengingat Allah. ” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-
Hikam, hal. 562). Sekarang, yang menjadi
pertanyaan kita adalah; mengapa banyak di antara
kita yang tidak bisa merasakan kelezatan berdzikir
sebagaimana yang digambarkan oleh para ulama
salaf. Sehingga kita lebih menyukai menonton
sepakbola daripada ikut pengajian, atau lebih suka
menikmati telenovela daripada merenungkan
ayat-ayat-Nya, atau lebih suka berkunjung ke
lokasi wisata daripada memakmurkan rumah-
Nya.
Perhatikanlah ucapan Rabi’ bin Anas berikut ini,
mungkin kita akan bisa menemukan jawabannya.
Rabi ’ bin Anas mengatakan sebuah ungkapan dari
sebagian sahabatnya, “Tanda cinta kepada Allah
adalah banyak berdzikir/mengingat kepada-Nya,
karena sesungguhnya tidaklah kamu mencintai
apa saja kecuali kamu pasti akan banyak-banyak
menyebutnya. ” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam,
hal. 559). Ini artinya, semakin lemah rasa cinta
kepada Allah dalam diri seseorang, maka semakin
sedikit pula ‘kemampuannya’ untuk bisa
mengingat Allah ta’ala. Hal ini secara tidak
langsung menggambarkan kondisi batin kita yang
begitu memprihatinkan, walaupun kondisi
lahiriyahnya tampak baik-baik saja. Aduhai,
betapa sedikit orang yang memperhatikannya!
Ternyata, inilah yang selama ini hilang dan
menipis dalam diri kita; yaitu rasa cinta kepada
Allah…
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan
ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta
untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok
penghambaan dan penyembahan kepada-Nya.
Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak
akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba
kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan
kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan
daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga
rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa
cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu
atasnya, yang membuat segala perkara yang
dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan
ini yang dengannya seorang hamba akan bisa
menggapai kebahagiaan dan
kemenangannya. ” (al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid
at-Tauhid, hal. 95)
Kalau demikian keadaannya, maka solusi untuk
bisa menggapai ketenangan jiwa melalui dzikir
adalah dengan menumbuhkan dan menguatkan
rasa cinta kepada Allah. Dan satu-satunya jalan
untuk mendapatkannya adalah dengan mengenal
Allah melalui keagungan nama-nama dan sifat-
sifat-Nya dan memperhatikan kebesaran ayat-
ayat-Nya, yang tertera di dalam al-Qur ’an
ataupun yang berwujud makhluk ciptaan-Nya.
Syaikh Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi
hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya rasa cinta
kepada sesuatu merupakan cabang dari
pengenalan terhadapnya. Maka manusia yang
paling mengenal Allah adalah orang yang paling
cinta kepada-Nya. Dan setiap orang yang
mengenal Allah pastilah akan mencintai-Nya. Dan
tidak ada jalan untuk menggapai ma ’rifat ini
kecuali melalui pintu ilmu mengenai nama-nama
Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak akan kokoh
ma ’rifat seorang hamba terhadap Allah kecuali
dengan berupaya mengenali nama-nama dan
sifat-sifat-Nya yang disebutkan di dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah…” (Mu’taqad Ahlis Sunnah
wal Jama’ah fi Tauhid al-Asma’ wa as-Shifat, hal.
16)
Hati seorang hamba akan menjadi hidup, diliputi
dengan kenikmatan dan ketentraman apabila hati
tersebut adalah hati yang senantiasa mengenal
Allah, yang pada akhirnya membuahkan rasa
cinta kepada Allah lebih di atas segala-galanya
(lihat Mu ’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid
al-Asma’ wa as-Shifat, hal. 21). Di sisi yang lain,
kelezatan di akherat yang diperoleh seorang
hamba kelak adalah tatkala melihat wajah-Nya.
Sementara hal itu tidak akan bisa diperolehnya
kecuali setelah merasakan kelezatan paling agung
di dunia, yaitu dengan mengenal Allah dan
mencintai-Nya, dan inilah yang dimaksud dengan
surga dunia yang akan senantiasa menyejukkan
hati hamba-hamba-Nya (lihat ad-Daa ’ wa ad-
Dawaa’, hal. 261)
Banyak orang yang tertipu oleh dunia dengan
segala kesenangan yang ditawarkannya sehingga
hal itu melupakan mereka dari mengingat Rabb
yang menganugerahkan nikmat kepada mereka.
Hal itu bermula, tatkala kecintaan kepada dunia
telah meresap ke dalam relung-relung hatinya.
Tanpa terasa, kecintaan kepada Allah sedikit demi
sedikit luntur dan lenyap. Terlebih lagi ‘didukung’
suasana sekitar yang jauh dari siraman petunjuk
al-Qur ’an, apatah lagi pengenalan terhadap
keagungan nama-nama dan sifat-Nya. Maka
semakin jauhlah sosok seorang hamba yang
lemah itu dari lingkaran hidayah Rabbnya. Sholat
terasa hampa, berdzikir tinggal gerakan lidah
tanpa makna, dan al-Qur ’an pun teronggok
berdebu tak tersentuh tangannya. Wahai
saudaraku … apakah yang kau cari dalam hidup
ini? Kalau engkau mencari kebahagiaan, maka
ingatlah bahwa kebahagiaan yang sejati tidak akan
pernah didapatkan kecuali bersama-Nya dan
dengan senantiasa mengingat-Nya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Akan tetapi
ternyata kalian lebih mengutamakan kehidupan
dunia, sementara akherat itu lebih baik dan lebih
kekal. ” (QS. al-A’la: 16-17). Allah juga berfirman
mengenai seruan seorang rasul yang sangat
menghendaki kebaikan bagi kaumnya (yang
artinya), “Wahai kaumku, ikutilah aku niscaya
akan kutunjukkan kepada kalian jalan petunjuk.
Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia
ini hanyalah kesenangan (yang semu), dan
sesungguhnya akherat itulah tempat menetap
yang sebenarnya. ” (QS. Ghafir: 38-39) (lihat ad-
Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 260)
Apabila engkau menangis karena ludesnya
hartamu, atau karena hilangnya jabatanmu, atau
karena orang yang pergi meninggalkanmu, maka
sekaranglah saatnya engkau menangisi rusaknya
hatimu … Allahul musta’aan wa ‘alaihit tuklaan.
Sumber: http//muslim.or.id

Lihat Hatimu!!

Rosulullah bersabda dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim
yang artinya: “Sesungguhnya di dalam tubuh ada
segumpal darah. jika segumpal darah tersebut
baik maka akan baik pulalah seluruh tubuhnya,
adapun jika segumpal darah tersebut rusak maka
akan rusak pulalah seluruh tubuhnya, ketahuilah
segumpal darah tersebut adalah hati. ” (Yang lebih
benar untuk penyebutan segumpal darah
( القلب ) tersebut adalah jantung, akan tetapi di
dalam bahasa Indonesia sudah terlanjur biasa
untuk menerjemahkan القلب dengan “hati”).
Maka hati bagaikan raja yang menggerakkan
tubuh untuk melakukan perbuatan-perbuatannya,
jika hati tersebut adalah hati yang baik maka
seluruh tubuhnya akan tergerak untuk
mengerjakan hal-hal yang baik, adapun jika
hatinya adalah hati yang buruk maka tentunya
juga akan membawa tubuh melakukan hal-hal
yang buruk. Hati adalah perkara utama untuk
memperbaiki manusia, Jika seseorang ingin
memperbaiki dirinya maka hendaklah ia
memperbaiki dahulu hatinya!!!
Ketahuilah, hati ini merupakan penggerak bagi
seluruh tubuh, ia merupakan poros untuk
tercapainya segala sarana dalam terwujudnya
perbuatan. Hati laksana panglima yang
memompa pasukannya untuk melawan musuh
atau melemahkan mereka sehingga mundur dari
medan peperangan. Karena hati disifatkan dengan
sifat kehidupan dan kematian, maka hati ini juga
dibagi dalam tiga kriteria yakni hati yang mati, hati
yang sakit dan hati yang sehat.
1. Hati yang Sehat
Yaitu hati yang selamat, hati yang bertauhid
(mengesakan Alloh dalam setiap peribadatannya),
di mana seseorang tidak akan selamat di hari
akhirat nanti kecuali ia datang dengan membawa
hati ini. Alloh berfirman dalam surat as-Syu ’ara
ayat 88-89:
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ
سَلِيمٍ
“(Yaitu) hari di mana tidak berguna lagi harta dan
anak-anak kecuali mereka yang datang menemui
Alloh dengan hati yang selamat (selamat dari
kesyirikan dan kotoran-kotorannya). ” (QS. Asy
Syu’ara: 88,89)
Hati yang sehat ini didefinisikan dengan hati yang
terbebas dari setiap syahwat, selamat dari setiap
keinginan yang bertentangan dari perintah Alloh,
selamat dari setiap syubhat (kerancuan-kerancuan
dalam pemikiran), selamat dari menyimpang
pada kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah
kepada selain Alloh dan berhukum kepada hukum
selain hukum Rosul-Nya. Hati ini mengikhlaskan
peribadatannya hanya kepada Alloh dalam
keinginannya, dalam tawakalnya, dalam
pengharapannya dalam kecintaannya Jika ia
mencintai ia mencintai karena Alloh, jika ia
membenci ia membenci karena Alloh, jika ia
memberi ia memberi karena Alloh, jika ia
menolak ia menolak karena Alloh. Hati ini terbebas
dari berhukum kepada hukum selain Alloh dan
Rosul-Nya. Hati ini telah terikat kepada suatu
ikatan yang kuat, yakni syariat agama yang Alloh
turunkan. Sehingga hati ini menjadikan syariat
sebagai panutan dalam setiap perkataan dan
perbuatannya.
Alloh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian bersikap mendahului Alloh dan Rosul-Nya,
bertakwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (QS. Al
Hujurot: 1)
Pemilik hati yang sehat ini akan senantiasa dekat
dengan Al Quran, ia senantiasa berinteraksi
dengan Al Quran, ia senantiasa tenang,
permasalahan apapun yang dihadapinya akan
dihadapi dengan tegar, ia senantiasa bertawakal
kepada-Nya karena ia mengetahui semua hal
berasal dari Alloh dan semuanya akan kembali
kepada-Nya. Di manapun ia berada zikir kepada
Alloh senantiasa terucap dari lisannya, jika disebut
nama Alloh bergetarlah hatinya, jika dibacakan
ayat-ayatNya maka bertambahlah imannya.
Pemilik hati inilah seorang mukmin sejati, orang
yang Alloh puji dalam Firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا
ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ
زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
(sempurna imannya) ialah mereka yang bila
disebut nama Alloh gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah
iman mereka (karenanya), dan hanya kepada
Allohlah mereka bertawakkal (berserah diri). ” (QS.
Al-Anfaal: 2)
2. Hati yang Mati
Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal
siapa Robbnya, ia tidak menyembah-Nya sesuai
dengan perintah-Nya, ia tidak menghadirkan
setiap perbuatannya berdasarkan sesuatu yang
dicintai dan diridhai-Nya. Hati ini senantiasa
berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan
dunia walaupun di dalamnya ada murka Alloh,
akan tetapi hati ini tidak memperdulikan hal-hal
tersebut, baginya yang terpenting adalah
bagaimana ia bisa melimpahkan hawa nafsunya.
Ia menghamba kepada selain Alloh, jika ia
mencinta maka mencinta karena hawa nafsu, jika
ia membenci maka ia membenci karena hawa
nafsu.
Alloh berfirman:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ
هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ
وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ
وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن
يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا
تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya,
dan Alloh membiarkannya sesat berdasarkan
ilmu-Nya dan Alloh mengunci mati pendengaran
dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesudah Alloh
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu
tidak mengambil pelajaran ?” (QS. Al Jaatsiyah: 23)
Pemilik hati ini jika dibacakan kepadanya ayat-ayat
Al Quran maka dirinya tidak tergetar, ia senantiasa
ingin menjauh dari Al Quran, ia lebih senang
mendengar suara-suara yang membuatnya lalai,
ia lebih senang mendengar nyanyian, mendengar
musik, mendengar suara-suara yang
menggejolakkan hawa nafsunya. Pemilik hati ini
senantiasa gelisah, ia tidak tahu harus kepada
siapa ia menyandarkan dirinya, ia tidak tahu
kepada siapa ia berharap, ia tidak tahu kepada
siapa ia meminta, kehidupannya terombang-
ambing, ke mana saja angin bertiup ia akan
mengikutinya, ke mana saja syahwat
mengajaknya ia akan mengikutinya, wahai betapa
menderitanya pemilik hati ini!
3. Hati yang Sakit
Hati ini adalah hati yang hidup namun
mengandung penyakit. Hati ini akan mengikuti
unsur kuat yang mempengaruhinya, terkadang
hati ini cenderung kepada “kehidupan” dan
terkadang cenderung kepada “penyakit”. Pada hati
ini ada kecintaan kepada Alloh, keimanan,
keikhlasan dan tawakal kepada-Nya. Akan tetapi
pada hati ini juga terdapat kecintaan kepada
syahwat, ketamakan, hawa nafsu, dengki,
kesombongan dan sikap bangga diri.
Ia ada di antara dua penyeru, penyeru kepada
Alloh, Rosul dan hari akhir dan penyeru kepada
kehidupan duniawi. Seruan yang akan
disambutnya adalah seruan yang paling dekat
dan paling akrab kepadanya.
Pemilik hati ini akan senantiasa berubah-ubah,
terkadang ia berada dalam ketaatan dan kebaikan,
terkadang ia berada dalam maksiat dan dosa.
Amalannya senantiasa berubah sesuai dengan
lingkungannya, jika lingkungannya baik maka ia
berubah menjadi baik adapun jika lingkungannya
buruk maka ia akan terseret pula kepada
keburukan.
Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang
hidup, khusyu ’, tawadhu’, lembut dan selalu
berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang
gersang dan mati. Hati yang ketiga adalah hati
yang sakit, kadang-kadang dekat kepada
keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada
kebinasaan.
Maka wahai kaum muslimin! hendaknya kita
menginterospeksi diri kita sendiri, termasuk
dalam golongan yang manakah hati kita? apakah
hati kita termasuk dalam hati yang sehat, hati
yang sakit atau malah hati kita telah mati? Maka
renungkanlah Firman Alloh dalam surat Al-Kahfi
ayat 49:
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى
الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ
وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا
الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا
كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا
مَا عَمِلُوا حَاضِراً وَلَا يَظْلِمُ
رَبُّكَ أَحَداً
“Dan diletakkanlah kitab (kitab amalan perbuatan),
lalu kamu akan melihat orang-orang berdosa
ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di
dalamnya, dan mereka berkata: Aduhai celaka
kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan
yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan
ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa
yang telah mereka kerjakan hadir (tertulis). Dan
Tuhanmu tidak menganiaya seorang
juapun. ” (QS. Al Kahfy: 49)
Dan sebaliknya Firman-Nya dalam Surat Al-Kahfi
ayat 29-30:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ
مَنْ أَحْسَنَ عَمَلاً أُوْلَئِكَ لَهُمْ
جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهِمُ
الْأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ
أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَيَلْبَسُونَ
ثِيَاباً خُضْراً مِّن سُندُسٍ
وَإِسْتَبْرَقٍ مُّتَّكِئِينَ فِيهَا
عَلَى الْأَرَائِكِ نِعْمَ الثَّوَابُ
وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقاً
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-
nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan
amalan(nya) dengan yang baik. Mereka itulah
(orang-orang yang) bagi mereka surga ‘Adn,
mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam
surga itu mereka dihiasi dengan gelang emas dan
mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus
dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil
bersandar di atas dipan-dipan yang indah. Itulah
pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat
yang indah.” (QS. Al Kahfy: 29,30)
Wahai zat yang membolak-bolakkan hati,
teguhkanlah hati kami diatas agamamu, wahai zat
yang membolak-balikkan hati tuntunlah hati kami
teguh di atas ketaatan kepada-Mu …
Sumber: http://muslim.or.id

Profil

Citayam (Ds: Rawa Panjang), Jawa Barat, Indonesia