Selasa, 01 Juni 2010

Hati-hati dgn Lisan

Saudaraku, seringkali lisan ini tergelincir
mengucapkan kata-kata kotor, mencela orang lain,
membicarakan orang lain padahal dia tidak senang
untuk diceritakan, bahkan seringkali lisan ini
mengucapkan kata-kata yang mengandung
kesyirikan dan kekufuran.
Harusnya setiap muslim mengoreksi diri dalam
setiap tingkah lakunya, apalagi dalam perkara
lisannya, yang begitu enteng mengucapkan
sesuatu karena keluar dari lidah yang tak
bertulang.
Ingatlah saudaraku, setiap yang kita ucapkan,
mencakup perkataan yang baik, yang buruk juga
yang sia-sia akan selalu dicatat oleh malaikat yang
setiap saat mengawasi kita. Seharusnya kita selalu
merenungkan ayat berikut agar tidak
serampangan mengeluarkan kata-kata dari lisan
ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Tiada
suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan
ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu
hadir. ” (QS. Qaaf [50] : 18). Ucapan dalam ayat ini
bersifat umum. Oleh karena itu, bukan perkataan
yang baik dan buruk saja yang akan dicatat oleh
malaikat, tetapi termasuk juga kata-kata yang tidak
bermanfaat atau sia-sia. (Lihat Tafsir Syaikh Ibnu
Utsaimin pada Surat Qaaf)
Kita dapat melihat contoh ulama yang selalu
menjaga lisannya bahkan sampai dalam keadaan
sakit. Imam Ahmad pernah didatangi oleh
seseorang dan beliau dalam keadaan sakit.
Kemudian beliau merintih karena sakit yang
dideritanya. Lalu ada yang berkata kepadanya
(yaitu Thowus, seorang tabi’in yang terkenal),
“Sesungguhnya rintihan sakit juga dicatat (oleh
malaikat).” Setelah mendengar nasehat itu, Imam
Ahmad langsung diam, tidak merintih. Beliau takut
jika merintih sakit, rintihannya tersebut akan
dicatat oleh malaikat. (Silsilah Liqo ’at Al Bab Al
Maftuh, 11/5)
Lihatlah saudaraku, bentuk rintihan seperti ini saja
dicatat oleh malaikat, apalagi ketergelinciran lisan
yang lebih dari itu.
Ibnu Mas'ud mengatakan, "Tidak ada yang lebih
pantas dipenjara dalam waktu yang lama
melainkan lisanku ini." (Mukhtashor Minhajil
Qoshidin, hal. 165, Maktabah Darul Bayan)
Di Antara Ketergilincaran Lisan
[Pertama] Mencela Makhluk yang Tidak
Dapat Berbuat Apa-apa
Misalnya dengan mengatakan, ‘Bencana ini bisa
terjadi karena bulan ini adalah bulan Suro’ atau
mengatakan ‘Sialan! Gara-gara angin ribut ini, kita
gagal panen’ atau dengan mengatakan pula,
‘Aduh!! hujan lagi, hujan lagi’.
Lidah ini begitu mudah mengucapkan perkataan
seperti ini. Padahal makhluk yang kita cela tersebut
tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas
kehendak Allah. Mencaci waktu, angin, dan hujan,
pada dasarnya telah mencaci, mengganggu dan
menyakiti yang telah menciptakan dan mengatur
mereka yaitu Allah Ta ’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah
Ta'ala berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia
mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah
pemilik dan pengatur masa. Aku-lah yang
mengatur malam dan siang menjadi silih
berganti ’.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.”
(HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih)
[Kedua] Seringnya Berdusta
Hal ini juga sering dilakukan oleh kita saat ini.
Dalam mu ’amalah saja seringkali seperti itu.
Hanya ingin mendapat untung yang besar,
seorang tukang bangunan rela berdusta. Harga
semennya sebenarnya 30 ribu, namun tukang
tersebut mengatakan pada juragannya bahwa
harganya 40 ribu.
Begitu juga dalam mendidik anak, seringkali juga
muncul perkataan dusta. Ketika seorang anak
merengek, menangis terus-terusan. Untuk
mendiamkannya, sang Ibu spontan mengatakan,
“ Iya, iya, nanti Mama akan belikan coklat di
warung. Sekarang jangan nangis lagi.” Setelah
anaknya diam, ibunya malah tidak memberikan
dia apa-apa. Kelakuan ibu ini juga secara tidak
langsung telah mengajarkan anaknya untuk
berdusta. Jadi jangan salahkan anaknya, jika
dewasa nanti, anaknya malah yang sering
membohongi orang tuanya.
Saudaraku, bentuk pertama dan kedua ini sama-
sama berkata dusta. Ingatlah bahwa perbuatan
semacam ini termasuk ciri-ciri kemunafikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tanda orang munafik itu ada tiga : jika berkata,
dia dusta; jika berjanji, dia menyelisinya; dan jika
diberi amanat, dia berkhianat. ” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Inilah di antara dua bentuk ketergelinciran lisan
dan masih banyak sekali bentuk yang lainnya.
Berpikirlah Sebelum Berucap
Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum
berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan
dilempar ke neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang
hamba yang berbicara dengan suatu perkataan
yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu,
sehingga membuatnya dilempar ke neraka
dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak
antara timur dan barat. ” (HR. Muslim)
Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah
dalam Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini
mengatakan, ”Ini merupakan dalil yang
mendorong setiap orang agar selalu menjaga
lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam juga bersabda, ‘Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang
baik dan jika tidak maka diamlah. ’ (HR. Bukhari
dan Muslim). Oleh karena itu, selayaknya setiap
orang yang berbicara dengan suatu perkataan
atau kalimat, hendaknya merenungkan dalam
dirinya sebelum berucap. Jika memang ada
manfaatnya, maka dia baru berbicara. Namun jika
tidak, hendaklah dia menahan lisannya. ”
Itulah manusia, dia menganggap perkataannya
seperti itu tidak apa-apa, namun di sisi Allah itu
adalah suatu perkara yang bukan sepele. Allah
Ta ’ala berfirman, “Kamu menganggapnya suatu
yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah
adalah besar. ” (QS. An Nur [24] : 15)
Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-
orang biasa menganggap perkara ini ringan.
Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah
besar.
Dengan Lisan, Seseorang Bisa Ditinggikan
Derajatnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara
dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan
lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan
perkataannya itu. ” (HR. Bukhari)
Ketinggian derajat di sini bisa diperoleh jika lisan
selalu diarahkan pada perkara kebaikan, di
antaranya dengan berdo ’a, membaca Al Qur’an,
berdakwah di jalan Allah, mengajarkan orang lain
di majelis ilmu dan lain sebagainya. Atau dengan
kata lain, ketinggian derajat tersebut bisa diperoleh
dengan mengarahkan lisan pada perkara-perkara
yang Allah ridhoi. (Lihat Nashihatu Linnisa ’, hal. 20)
Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk
menjaga lisan ini dan mengarahkannya kepada
hal-hal yang dirihoi oleh Allah. Amin Ya Mujibad
Da ’awat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihat.

Sumber: http://rumaysho.com/

Profil

Citayam (Ds: Rawa Panjang), Jawa Barat, Indonesia