Selasa, 01 Juni 2010

Ucapan Salam, Amalan Mulia Yg Di Tinggalkan

Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu ‘ala
Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man
taabi'ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.
An Nawawi menyebutkan dalam Shohih Muslim
Bab ‘Di antara kewajiban seorang muslim adalah
menjawab salam’. Lalu dibawakanlah hadits dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
سِتٌّ «. قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ » إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ
عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ
وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ
وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ
فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ
وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ ».
“Hak muslim pada muslim yang lain ada enam.”
Lalu ada yang menanyakan, ”Apa saja keenam hal
itu?” Lantas beliau shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu,
ucapkanlah salam padanya, (2) Apabila engkau
diundang, penuhilah undangannya, (3) Apabila
engkau dimintai nasehat, berilah nasehat padanya,
(4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah
(mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia
(dengan mengucapkan ’yarhamukallah’), (5)
Apabila dia sakit, jenguklah dia, dan (6) Apabila dia
meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke
pemakaman). ” (HR. Muslim no. 2162)
Apakah hak-hak yang disebutkan di sini
adalah wajib?
Ash Shon’ani mengatakan, “Hadits ini
menunjukkan bahwa inilah hak muslim pada
muslim lainnya. Yang dimaksud dengan hak di
sini adalah sesuatu yang tidak pantas untuk
ditinggalkan. Hak-hak di sini ada yang hukumnya
wajib dan ada yang sunnah mu’akkad (sunnah
yang sangat ditekankan) yang sunnah ini sangat
mirip dengan wajib. ” (Subulus Salam, 7/7)
Hukum Memulai Mengucapkan dan
Membalas Salam
Jika kita melihat dari hadits di atas, akan terlihat
perintah untuk memulai mengucapkan salam
ketika bertemu saudara muslim kita yang lain.
Namun sebagaimana dinukil dari Ibnu ‘Abdil Barr
dan selainnya, mereka mengatakan bahwa
hukum memulai mengucapkan salam adalah
sunnah , sedangkan hukum membalas salam
adalah wajib. (Subulus Salam, 7/7)
Ucapkanlah Salam Kepada Orang yang
Engkau Kenali dan Tidak Engkau Kenali
Bukhari membawakan dalam kitab shohihnya Bab
‘ Mengucapkan salam kepada orang yang dikenal
maupun tidak dikenal’. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr
bahwasanya ada seseorang yang bertanya pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ » تُطْعِمُ
الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى
مَنْ عَرَفْتَ ، وَعَلَى مَنْ لَمْ
تَعْرِفْ »
“Amalan islam apa yang paling baik?” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab,
“Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan
mengucapkan salam kepada orang yang engkau
kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali.
” (HR. Bukhari no. 6236)
Bahkan mengucapkan salam kepada orang yang
dikenal saja, tidak mau mengucapkan salam
kepada orang yang tidak dikenal merupakan tanda
hari kiamat.
Bukhari mengeluarkan sebuah hadits dalam
Adabul Mufrod dengan sanad yang shohih dari
Ibnu Mas ’ud. Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dia
melewati seseorang, lalu orang tersebut
mengucapkan, “Assalamu ‘alaika, wahai Abu
‘Abdir Rahman.” Kemudian Ibnu Mas’ud
membalas salam tadi, lalu dia berkata,
إِنَّهُ سَيَأْتِي عَلَى النَّاس زَمَان
يَكُون السَّلَام فِيهِ لِلْمَعْرِفَةِ
“Nanti akan datang suatu masa, pada masa
tersebut seseorang hanya akan mengucapkan
salam pada orang yang dia kenali saja. ”
Begitu juga dikeluarkan oleh Ath Thohawiy, Ath
Thobroniy, Al Baihaqi dalam Asy Syu ’ab dengan
bentuk yang lain dari Ibnu Mas’ud . Hadits ini
sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
(baca: hadits marfu’). Lafazh hadits tersebut
adalah:
مِنْ أَشْرَاط السَّاعَة أَنْ يَمُرّ
الرَّجُل بِالْمَسْجِدِ لَا يُصَلِّي
فِيهِ ، وَأَنْ لَا يُسَلِّم إِلَّا عَلَى
مَنْ يَعْرِفهُ
“Di antara tanda-tanda (dekatnya) hari kiamat
adalah seseorang melewati masjid yang tidak
pernah dia shalat di sana, lalu dia hanya
mengucapkan salam kepada orang yang dia kenali
saja. ” (Lihat Fathul Bari, 17/458)
Ibnu Hajar mengatakan, “Mengucapkan salam
kepada orang yang tidak kenal merupakan tanda
ikhlash dalam beramal kepada Allah Ta ’ala, tanda
tawadhu’ (rendah diri) dan menyebarkan salam
merupakan syi’ar dari umat ini.” (Lihat Fathul Bari,
17/459)
Dan tidak tepat berdalil dengan hadits di atas untuk
memulai mengucapkan salam pada orang kafir
karena memulai salam hanya disyari’atkan bagi
sesama muslim. Jika kita tahu bahwa orang
tersebut muslim, maka hendaklah kita
mengucapkan salam padanya. Atau mungkin
dalam rangka hati-hati, kita juga tidak terlarang
memulai mengucapkan salam padanya sampai
kita mengetahui bahwa dia itu kafir. (Lihat Fathul
Bari, 17/459)
Mengucapkan Salam dapat Mencapai
Kesempurnaan Iman
Dari ‘Amar bin Yasir, beliau mengatakan,
ثَلاَثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ
الإِيمَانَ الإِنْصَافُ مِنْ نَفْسِكَ ،
وَبَذْلُ السَّلاَمِ لِلْعَالَمِ ،
وَالإِنْفَاقُ مِنَ الإِقْتَارِ
“Tiga perkara yang apabila seseorang memiliki
ketiga-tiganya, maka akan sempurna imannya: [1]
bersikap adil pada diri sendiri, [2] mengucapkan
salam pada setiap orang, dan [3] berinfak ketika
kondisi pas-pasan. ” (Diriwayatkan oleh Bukhari
secara mu’allaq yaitu tanpa sanad. Syaikh Al
Albani dalam Al Iman mengatakan bahwa hadits
ini shohih)
Ibnu Hajar mengatakan, “Memulai mengucapkan
salam menunjukkan akhlaq yang mulia,
tawadhu ’ (rendah diri), tidak merendahkan orang
lain, juga akan timbul kesatuan dan rasa cinta
sesama muslim. ” (Fathul Bari, 1/46)
Saling Mengucapkan Salam akan
Menimbulkan Rasa Cinta
Mengucapkan salam merupakan sebab
terwujudnya kesatuan hati dan rasa cinta di antara
sesama muslim sebagaimana kenyataan yang kita
temukan (Huquq Da ’at Ilaihal Fithroh, 46). Dalil
yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى
تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى
تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى
شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ
تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ
بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian
beriman. Kalian tidak akan beriman sampai kalian
saling mencintai. Maukah aku tunjukkan pada
kalian suatu amalan yang jika kalian melakukannya
kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di
antara kalian. ” (HR. Muslim no. 54)
Siapa yang Seharusnya Mendahului Salam?
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِى ،
وَالْمَاشِى عَلَى الْقَاعِدِ ،
وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ
“Hendaklah orang yang berkendaraan memberi
salam pada orang yang berjalan. Orang yang
berjalan memberi salam kepada orang yang
duduk. Rombongan yang sedikit memberi salam
kepada rombongan yang banyak. ” (HR. Bukhari
no. 6233 dan Muslim no 2160)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
يُسَلِّمُ الصَّغِيرُ عَلَى الْكَبِيرِ ،
وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ ،
وَالْقَلِيلُ عَلَى الْكَثِيرِ
“Yang muda hendaklah memberi salam pada
yang tua. Yang berjalan (lewat) hendaklah
memberi salam kepada orang yang duduk. Yang
sedikit hendaklah memberi salam pada orang
yang lebih banyak. ” (HR. Bukhari no. 6231)
Ibnu Baththol mengatakan, “Dari Al Muhallab,
disyari’atkannya orang yang muda mengucapkan
salam pada yang tua karena kedudukan orang
yang lebih tua yang lebih tinggi. Orang yang
muda ini diperintahkan untuk menghormati dan
tawadhu ’ di hadapan orang yang lebih
tua.” (Subulus Salam, 7/31)
Jika orang yang bertemu sama-sama memiliki
sifat yang sama yaitu sama-sama muda, sama-
sama berjalan, atau sama-sama berkendaraan
dengan kendaraan yang jenisnya sama, maka di
antara kedua pihak tersebut sama-sama
diperintahkan untuk memulai mengucapkan
salam. Yang mulai mengucapkan salam, itulah
yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الْمَاشِيَانِ إِذَا اجْتَمَعَا
فَأَيُّهُمَا بَدَأَ بِالسَّلاَمِ فَهُوَ
أَفْضَلُ
“Dua orang yang berjalan, jika keduanya bertemu,
maka yang lebih dulu memulai mengucapkan
salam itulah yang lebih utama. ” (Diriwayatkan oleh
Bukhari dalam Adabul Mufrod dan Al Baihaqi
dalam Sunannya. Syaikh Al Albani dalam Shohih
Adabil Mufrod mengatakan bahwa hadits ini
shohih)
Namun jika orang yang seharusnya
mengucapkan salam pertama kali tidak memulai
mengucapkan salam, maka yang lain hendaklah
memulai mengucapkan salam agar salam
tersebut tidak ditinggalkan. Jadi ketika ini,
hendaklah yang tua memberi salam pada yang
muda, yang sedikit memberi salam pada yang
banyak, dengan tujuan agar pahala mengucapkan
salam ini tetap ada. (Huquq Da’at Ilaihal Fithroh,
47)
Jika yang Diberi Salam adalah Jama’ah
Jika yang diberi salam adalah jama’ah (banyak
orang), maka hukum menjawab salam adalah
fardhu kifayah jika yang lain telah menunaikannya.
Jika jama ’ah diberi salam, lalu hanya satu orang
yang membalasnya, maka yang lain gugur
kewajibannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُجْزِئُ عَنِ الْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوا
أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ وَيُجْزِئُ
عَنِ الْجُلُوسِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ
“Sudah cukup bagi jama’ah (sekelompok orang),
jika mereka lewat, maka salah seorang dari
mereka memberi salam dan sudah cukup salah
seorang dari sekelompok orang yang duduk
membalas salam tersebut. ” (HR. Abu Daud no.
5210. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shohih). Dan sebagaimana dijelaskan oleh Ash
Shon ’ani bahwa hukum jama’ah (orang yang
jumlahnya banyak) untuk memulai salam adalah
sunnah kifayah (jika satu sudah mengucapkan,
maka yang lain gugur kewajibannya). Namun, jika
suatu jama ’ah diberi salam, maka membalasnya
dihukumi fardhu kifayah. (Subulus Salam, 7/8)
Balaslah Salam dengan Yang Lebih Baik atau
Minimal dengan Yang Semisal
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ
فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ
رُدُّوهَا
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan
sesuatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan
yang serupa). ” (QS. An Nisa’: 86)
Bentuk membalas salam di sini boleh dengan
yang semisal atau yang lebih baik, dan tidak boleh
lebih rendah dari ucapan salamnya tadi.
Contohnya di sini adalah jika saudara kita
memberi salam: Assalaamu ‘alaikum, maka
minimal kita jawab: Wa’laikumus salam. Atau
lebih lengkap lagi dan ini lebih baik, kita jawab
dengan: Wa ’alaikumus salam wa rahmatullah,
atau kita tambahkan lagi: Wa’alaikumus salam wa
rahmatullah wa barokatuh. Begitu pula jika kita
diberi salam: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah,
maka minimal kita jawab: Wa’alaikumus salam wa
rahmatullahi, atau jika ingin melengkapi, kita
ucapkan: Wa ’alaikumus salam wa rahmatullahi wa
barokatuh. Ini di antara bentuknya.
Bentuk lainnya adalah jika kita diberi salam dengan
suara yang jelas, maka hendaklah kita jawab
dengan suara yang jelas, dan tidak boleh dibalas
hanya dengan lirih.
Begitu juga jika saudara kita memberi salam
dengan tersenyum dan menghadapkan wajahnya
pada kita, maka hendaklah kita balas salam
tersebut sambil tersenyum dan menghadapkan
wajah padanya. Inilah di antara bentuk membalas.
Hendaklah kita membalas salam minimal sama
dengan salam pertama tadi, begitu juga dalam
tata cara penyampaiannya. Namun, jika kita ingin
lebih baik dan lebih mendapatkan keutamaan,
maka hendaklah kita membalas salam tersebut
dengan yang lebih baik, sebagaimana yang kami
contohkan di atas. (Lihat penjelasan ini di Syarh
Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh
Al Utsaimin pada Bab ‘Al Mubadaroh ilal Khiyarot)
Peringatan
Hendaklah jika kita memberi salam (terutama
melalui sms, email, surat, beri comment),
janganlah ucapan salam tersebut kita ringkas
menjadi: Ass. atau Ass.wr.wb. atau yang lainnya.
Bentuk semacam ini bukanlah salam. Salam
seharusnya tidak disingkat. Seharusnya jika ingin
mengirimkan pesan singkat, maka hendaklah kita
tulis: Assalamu ’alaikum. Itu lebih baik daripada jika
kita tulis: Ass., tulisan yang terakhir ini tidak ada
maknanya dan bukanlah salam. Salam adalah
bentuk do ’a yang sangat bagus dan baik, kenapa
kita harus menyingkat-nyingkat [?] Kenapa tidak
kita tulis lengkap, bukankah itu lebih baik dan lebih
utama [?] Janganlah kita dikepung dengan sikap
malas ketika ingin berbuat baik, ubahlah sikap
semacam ini dengan menulis salam lebih lengkap.
Jika salam tersebut melalui tulisan, sms, email dan
sebagainya, maka hendaklah kita yang membaca
salam tersebut, juga membalasnya dengan ditulis
secara lengkap dan jangan disingkat-singkat.
Itulah peringatan dari kami. Kami ingatkan
demikian karena salam adalah do ’a yang sangat
baik sekali. Para ulama menjelaskan bahwa As
Salam itu termasuk nama Allah. Sehingga jika kita
mengucapkan Assalamu ’alaikum, maka ini berarti
kita mendo’akan saudara kita agar dia selalu
mendapat penjagaan dari Allah Ta’ala. Ada juga
sebagian ulama mengartikan bahwa As Salam
dengan keselamatan. Sehingga jika kita
mengucapkan Assalamu ’alaikum, maka ini berarti
kita mendo’akan saudara kita agar dia
mendapatkan keselamatan dalam masalah agama
ataupun dunianya. Jadi makna salam yang
terakhir ini berarti kita mendo ’akan agar saudara
kita mendapatkan keselamatan dari berbagai
macam kerancuan dalam agama, selamat dari
syahwat yang menggelora, juga agar diberi
kesehatan, terhindar dari berbagai macam
penyakit, dan bentuk keselamatan lainnya. Dengan
demikian, salam adalah bentuk do ’a yang sangat
bagus sekali.
Oleh karena itu, hendaklah kita selalu
menyebarkan syiar salam ini ketika bertemu
saudara kita, ketika berjalan, dan dalam setiap
kondisi. Hendaklah pula kita mengucapkan salam
kepada orang yang kita kenali ataupun tidak. Dan
dalam menulis sms atau email, hendaklah kita
juga gemar menyebarkan syiar Islam yang satu
ini. Semoga Allah memudahkan kita untuk
mengamalkan yang satu ini dan semoga pelajaran
yang kami sampaikan ini adalah di antara ilmu
yang bermanfaat bagi diri kami dan pembaca
sekalian. Insya Allah, pembahasan ini masih kami
lengkapi lagi pada posting-posting selanjutnya.
Mudah-mudahan Allah memudahkan urusan ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat. Allahumman fa’ana bimaa ‘allamtana,
wa ‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi
wa shohbihi wa sallam.
Referensi:
Subulus Salam, Ash Shon’ani, Mawqi’ Al Islam,
Asy Syamilah
Huquq Da ’at Ilaihal Fithroh, Syaikh Muhammad
bin Sholeh Al Utsaimin, Darul Istiqomah
Fathul Bari, Ibnu Hajar, Mawqi ’ Al Islam, Asy
Syamilah
Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al Utsaimin, Asy Syamilah

Profil

Citayam (Ds: Rawa Panjang), Jawa Barat, Indonesia