Minggu, 30 Mei 2010

Hati-hati Membicarakan Orang Lain

sumber:
http://www.alsofwah.or.id/?
pilih=lihatannur&id=343
Membicarakan aib orang lain atau ghibah
telah Allah haramkan secara jelas dan
tegas di dalam kitab-Nya dan melalui lisan
rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala
berfirman, artinya,
“Dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Sukakah
salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati. Maka
tentulah kamu merasa jijik
kepadanya.” (QS. al-Hujurat:12)
Penjelasan tentang hakikat ghibah telah
disebutkan di dalam hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan
oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yaitu,
“Engkau membicarakan saudaramu dengan
sesuatu yang dia tidak suka (untuk
diungkapkan).” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga
telah mengharamkan kehormatan seorang
mukmin dan mengaitkannya dengan hari
Arafah, bulan haram, dan tanah haram.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian,
dan kehormatan kalian adalah haram atas
kalian, sebagaimana haramnya hari kalian
ini, di bulan kalian ini, dan di negri kalian ini.
Ingat! Bukankah aku telah
menyampaikan?” (HR Muslim).
Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan
dengan sangat tegas bahwa
membicarakan aib dan kehormatan
seorang mukmin itu lebih parah
dibandingkan dengan seseorang yang
menikahi ibunya sendiri. Diriwayatkan dari
al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu dia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
“Riba itu mempunyai tujuh puluh dua pintu,
yang paling rendah seperti seseorang yang
menikahi ibunya. Dan riba yang paling besar
yakni seseorang yang berlama-lama
membicarakan kehormatan
saudaranya.” (Silsilah ash-Shahihah no.
1871)
Di dalam sebuah potongan hadist, riwayat
dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Siapa yang berkata tentang seorang
mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi
(tidak dia perbuat), maka Allah subhanahu
wata’ala akan mengurungnya di dalam
lumpur keringat ahli neraka, sehingga dia
menarik diri dari ucapannya (melakukan
sesuatu yang dapat membebaskannya)
.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim,
disetujui oleh adz-Dzahabi, lihat Silsilah
ash-Shahihah no. 437)
Diriwayatkan dari Abdur Rahman bin
Ghanam radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
bersabda,
“Sebaik-baik hamba Allah adalah orang
yang jika dilihat (menjadi perhatian)
disebutlah nama Allah, dan seburuk-buruk
hamba Allah adalah orang yang berjalan
dengan mengadu domba, memecah belah
antara orang-orang yang saling cinta, dan
senang untuk membuat susah orang-orang
yang baik.” (HR. Ahmad 4/227, periksa juga
kitab “Hashaid al-Alsun” hal. 68)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“Wahai sekalian orang yang telah
menyatakan Islam dengan lisannya namun
iman belum masuk ke dalam hatinya,
janganlah kalian semua menyakiti sesama
muslim, janganlah kalian membuka aib
mereka, dan janganlah kalian semua
mencari-cari (mengintai) kelemahan
mereka. Karena siapa saja yang mencari-
cari kekurangan saudaranya sesama
muslim maka Allah akan mengintai
kekurangannya, dan siapa yang diintai oleh
Allah kekurangannya maka pasti Allah
ungkapkan, meskipun dia berada di dalam
rumahnya.” (HR. at-Tirmidzi, dishahihkan
oleh al-Albani dalam shahih sunan at-
Tirmidzi 2/200)
Para salaf adalah orang yang sangat
menjauhi ghibah dan takut jika terjerumus
melakukan hal itu. Di antaranya adalah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Imam al-Bukhari, dia berkata, “Aku
mendengar Abu ‘Ashim berkata,
“Semenjak aku ketahui bahwa ghibah
adalah haram, maka aku tidak berani
menggunjing orang sama sekali.” (at-
Tarikh al-Kabir (4/336)
Al-Imam al-Bukhari mengatakan, “Aku
berharap untuk bertemu dengan Allah
subhanahu wata’ala dan Dia tidak
menghisab saya sebagai seorang yang
telah berbuat ghibah terhadap orang lain.”
Imam Adz-Dzahabi berkomentar, “Benarlah
apa yang beliau katakan, siapa yang
melihat ucapan beliau di dalam jarh dan
ta’dil (menyatakan cacat dan jujurnya
seorang perawi) maka akan tahu kehati-
hatian beliau di dalam membicarakan orang
lain, dan sikap inshaf (obyektif) beliau di
dalam mendhaifkan/melemahkan
seseorang.
Lebih lanjut beliau (adz-Dzahabi)
mengatakan, “Apabila aku (Imam al-
Bukhari) berkata si Fulan dalam haditsnya
ada catatan, dan dia diduga seorang yang
lemah hafalannya, maka inilah yang
dimaksudkan dengan ucapan beliau
“Semoga Allah subhanahu wata’ala tidak
menghisab saya sebagai orang yang
melakukan ghibah terhadap orang lain.”
Dan ini merupakan salah satu dari puncak
sikap wara’. (Siyar A’lam an -Nubala’
12/439)
Beliau juga mengatakan, “Aku tidak
menggunjing seseorang sama sekali
semenjak aku ketahui bahwa ghibah itu
berbahaya bagi pelakunya.” (Siyar a’lam an-
Nubala’ 12/441) Para salaf apabila terlanjur
menggunjing orang lain, maka mereka
langsung melakukan introspeksi diri. Ibnu
Wahab pernah berkata, “Aku bernadzar
apabila suatu ketika menggunjing
seseorang maka aku akan berpuasa satu
hari. Aku pun berusaha keras untuk
menahan diri, tetapi suatu ketika aku
menggunjing, maka aku pun berpuasa.
Maka aku berniat apabila menggunjing
seseorang, aku akan bersedekah dengan
satu dirham dan karena sayang terhadap
dirham, maka aku pun meninggalkan
ghibah.”
Berkata imam adz-Dzahabi, “Demikianlah
kondisi para ulama, dan itu merupakan buah
dari ilmu yang bermanfaat.” (Siyar: 9/228)
Bahkan seorang yang melakukan ghibah
pada hakikatnya sedang memberikan
kebaikannya kepada orang lain yang dia
gunjing. Bahkan Abdur Rahman bin Mahdi
berkata, “Andaikan aku tidak benci karena
bermaksiat kepada Allah subhanahu
wata’ala, maka tentu aku berharap tidak
ada seorang pun di Mesir, ini kecuali aku
menggunjingnya, yakni karena dengan itu
seseorang akan mendapatkan kebaikan di
dalam catatan amalnya, padahal dia tidak
melakukan sesuatu.” (Siyar: 9/195)
Maka para aktivis dakwah di masa ini yang
melakukan ghibah atau membicarakan aib
saudaranya sesama muslim dengan alasan
untuk meluruskan kesalahan dan demi
kebaikan, alangkah baiknya sebelum
membicarakan orang lain merenung kan
beberapa masalah berikut:
Pertama;
Apakah yang dia lakukan itu adalah ikhlas dan
merupakan nasihat untuk Allah subhanahu
wata’ala, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kaum muslimin? Ataukah merupakan
dorongan hawa nafsu baik tersembunyi atau
terang-terangan? Atukah itu merupakan hasad
dan kebencian terhadap orang yang dia gunjing?
Memperjelas apa latar belakang yang
mendorong untuk membicarakan orang lain
sangatlah penting. Sebab berapa banyak
orang yang terjerumus ke dalam ghibah
dan menggunjing orang lain karena
dorongan nafsu tercela sebagaimana
tersebut di atas. Lalu dia menyangka
bahwa yang mendorong dirinya untuk
menggunjing adalah karena menyampaikan
nasehat dan menginginkan kebaikan.
Ini merupakan ketergelinciran jiwa yang
sangat pelik, yang tidak diketahui oleh
kebanyakan manusia, kecuali setelah
merenung dan berpikir mendalam penuh
rasa ikhlas dan murni karena Allah
subhanahu wata’ala.
Ke dua;
Harus dilihat dulu bentuk masalahnya ketika
membicarakan aib seseorang, apakah
merupakan hal-hal yang di situ memang
dibolehkan untuk ghibah ataukah tidak? Ke tiga
; Renungkan berkali-kali sebelum mengeluarkan
kata-kata untuk membicarakan orang lain; Apa
jawaban yang saya sampaikan nanti di hadapan
Allah subhanahu wata’ala pada hari Kiamat jika
Dia bertanya, “Wahai hamba-Ku si Fulan,
mengapa engkau membicarakan si Fulan
dengan ini dan ini?”
Hendaknya selalu ingat bahwa Allah
subhanahu wata’ala telah berfirman,
“Dan ketahuilah bahwasannya Allah
mengetahi apa yang ada dalam hatimu;
maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 235)
Dan Ibnu Daqiq al-Ied juga telah berkata,
“Kehormatan manusia merupakan salah
satu jurang dari jurang jurang neraka yang
para ahli hadits dan ahli hukum diam apabila
telah berhadapan dengannya. (Thabaqat
asy Syafi’iyyah al Kubra 2/18). Wallahu
a’lam.
Sumber: “Manhaj Ahlussunnah fi an-Naqdi
wal Hukmi ‘alal Akharin, hal 17-20, Hisyam
bin Ismail ash-Shiini
.
=========================================
Netter Al-Sofwa yang dimuliakan Allah
Ta’ala, Menyampaikan Kebenaran adalah
kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita
saat ini untuk berdakwah adalah dengan
menyampaikan buletin ini kepada saudara-
saudara kita yang belum mengetahuinya.
Semoga Allah Ta’ala Membalas ‘Amal
Ibadah Kita. Aamiin
Waassalamu’alaikum warahmatullaahi
wabarakatuh
———————————————————————
YAYASAN AL-SOFWA
Jl.Raya Lenteng Agung Barat No.35
PostCode:12810
Jakarta Selatan – Indonesia
e-mail: info @alsofwah.or.id
website: www.alsofwah.or.id

Profil

Citayam (Ds: Rawa Panjang), Jawa Barat, Indonesia